Salin Artikel

Politisi, Harga Beras, dan Kegaduhan

Ia mempertanyakan keributan akibat kenaikan harga beras. “Kenapa ribut ketika harga beras naik? Kenapa ketika harga skincare, motor, handphone naik tidak ribut?” katanya dalam salah satu platform sosial media sosial yang kontan viral.

Pertanyaan sekaligus pernyataan tersebut jelas berseberangan dengan nalar publik (common sense). “Publik”, lebih khusus, merujuk kepada kalangan menengah, menengah ke bawah (aspiring middle), dan miskin.

Dalam catatan BPS seperti diulas Kompas, secara persentase berdasarkan distribusi pendapatan, kelas menengah berjumlah 22 persen total penduduk Indonesia.

Kelas menengah ke bawah berada di angka 69 persen dan kelas miskin sebesar 7 persen (BPS, 2023). Angka yang jelas masif dan tentu saja tidak terpisahkan dari pemilih (voters) yang memutuskan memilih Dedi Mulyadi dalam perhelatan Pemilu Legislatif (Pilleg) kemarin.

Kemudian, lebih penting lagi, adalah pola pengeluaran pada rentang kelas tersebut. Terdapat pola yang kurang lebih sama, yaitu lebih besar porsi pengeluaran konsumsi ketimbang non-konsumsi.

Berbeda dengan kelas ekonomi atas yang secara porsi pengeluaran lebih besar dialokasikan pada variabel non-konsumsi; jasa, tabungan, investasi, dan lain-lain (Kompas, 2023 ; BPS, 2023).

Komoditas primer dan andil inflasi

Di bentangan arena (field) sosio-ekonomi tersebut, maka respons “ribut” publik terhadap kenaikan harga beras seperti dipertanyakan Dedi Mulyadi sesungguhnya memiliki justifikasi jelas.

Pertama, beras adalah komoditas primer yang wajib ada dalam daftar konsumsi publik. Studi Data Desa Presisi terkait pola konsumsi rakyat Indonesia menunjukkan bahwa beras adalah komoditas paling dominan dalam dinamika pengeluaran rumah tangga.

Sementara, pangan substitusi beras, seperti beras ketan, singkong, jagung, dan sukun relatif masih sedikit dikonsumsi (Data Desa Presisi, 2023).

Temuan (evidence) serupa konsisten dengan hasil pendataan Susenas BPS yang menempatkan komoditas padi-padian di urutan ketiga terbesar di bawah kategori “makanan dan minuman jadi” di urutan pertama dan “tembakau dan sirih” di urutan kedua.

Namun, perlu juga digaris-bawahi, pada kategori “minuman dan makanan jadi” yang diklasifikasi BPS terdapat beberapa jenis produk yang bersumber dari beras, seperti nasi goreng, nasi putih, nasi campur rames, dan bubur (BPS, 2023).

Kedua, mari kita telisik data kenaikan harga beras. Dari Januari ke Februari 2024, harga beras meningkat 5,32 persen. Sementara, jika dibandingkan secara tahunan (Februari 2023 dan 2024), harga beras meningkat sebesar 18,20 persen (BPS, 2023). Lonjakan harga yang jelas sangat signifikan.

Dampak inflasi beras pada prinsipnya besar karena terbukti berkontribusi signifikan terhadap inflasi umum. Secara kasuistis, dalam perbandingan bulan ke bulan (month to month), inflasi beras berkontribusi sebesar 0,21 persen terhadap inflasi umum Februari 2024 yang mencapai 0,37 persen.

Dengan kata lain, inflasi beras menyumbang lebih dari setengah ‘bobot’ inflasi umum bulanan.

Sementara, dalam rentang tahun ke tahun (year to year), inflasi umum Indonesia per Februari 2024 menyentuh angka 2,75 persen.

Andil inflasi beras terhadap inflasi umum tahunan adalah 0,67 persen atau 24 persen inflasi umum (Kompas, 1/3/2024). Posisi demikian menegaskan kuatnya dampak inflasi beras terhadap inflasi umum Indonesia, baik dalam konteks bulanan maupun tahunan.

Berbanding terbalik dengan pendapatan

Ironisnya, inflasi beras yang integral dengan inflasi umum berbanding terbalik dengan pertumbuhan pendapatan rakyat.

Studi LPEM FEB UI belum lama ini mengungkap fenomena ketimpangan pendapatan yang melebar di masa pemerintahan Jokowi jilid II.

Berbeda dengan jilid I yang teridentifikasi cukup inklusif, situasi perekonomian Indonesia di era Jokowi periode kedua ditandai dengan pertumbuhan pendapatan rakyat yang timpang.

Pernyataan ini diperkuat dengan temuan Kurva Insiden Pertumbuhan (Growth Incidence Curve) yang menunjukkan pertumbuhan pendapatan rakyat Indonesia berdasarkan kelompok pendapatan (LPEM FEB UI, 2023).

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di periode Jokowi jilid II, pertumbuhan pendapatan signifikan dirasakan oleh kelompok 20 persen terbawah (mencapai 2 persen per tahun) dan 10 persen teratas (bertumbuh hingga 4 persen per tahun).

Sementara, pertumbuhan pendapatan kelas menengah ke bawah dan menengah cenderung stagnan–dan bahkan negatif.

Paradoks kesenjangan pertumbuhan pendapatan dan gerak inflasi komoditas primer telak menjadi justifikasi “ribut” publik ketiga.

Karena sifatnya yang primer, beras tetap harus dibeli meskipun mahal. Pun demikian halnya dengan makanan olahan jadi yang akan tetap dibeli karena keharusan (necessity).

Konsekuensinya, alokasi pengeluaran untuk konsumsi akan lebih besar. Sementara, di waktu yang sama, pendapatan tidak bertumbuh dan–malah–tergerus seiring waktu.

Setiap kelas ekonomi tentu saja akan merasakan dampaknya. Namun, dari tren pertumbuhan pendapatan seperti diungkap LPEM FEB UI, pihak yang paling terdampak adalah kelas menengah dan menengah ke bawah.

Kalangan ini bukan prioritas program-program berorientasi perlindungan kesejahteraan, semisal Bansos, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Tanpa perhatian dan keberpihakan yang jelas dari para pemangku kebijakan, dalam jangka panjang kelas ini sangat mungkin merosot dan terancam miskin.

Setiap kebijakan publik pada prinsipnya adalah keputusan politik (Sjaf, 2023). Sehingga, tentu sangat besar harapan rakyat kepada para politisi yang memiliki akses sebagai pemangku kebijakan.

Apalagi, kepada Wakil Rakyat yang oleh konstituen dipilih dengan penuh antusias dan optimisme di bilik suara.

Terhadap perkara beras dan imbasnya yang berkaitan dengan hajat hidup, rakyat jelas berharap keberpihakan.

Di hilir, keberpihakan itu salah satunya adalah soal stabilitas. Kenaikan harga tanpa ‘suplemen’ peningkatan pendapatan adalah persoalan.

Kalangan ekonomi menengah terpaksa ‘makan’ tabungan. Kalangan menengah ke bawah memutar otak untuk tetap bertahan; memangkas menu makan semurah mungkin, mengurangi pos pengeluaran lain, atau skenario terburuk bertajuk “gali lubang, tutup lubang”.

Terakhir, kalangan miskin makin bergantung dari skema bantuan.

Di hulu, kiranya ada persoalan lain yang perlu didalami selain narasi faktor iklim yang memengaruhi produktifitas pertanian.

Bagaimana dengan beberapa fakta lapangan (field fact) yang dikompilasi Data Desa Presisi seperti, pertama, mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 1 hektar?

Kedua, mereka cenderung lemah dari sisi aksesibilitas ke lembaga keuangan sehingga sulit untuk bertumbuh.

Ketiga, lingkaran keterbatasan dan kesulitan tersebut membentuk siklus kemiskinan yang berkontribusi terhadap ‘kemacetan’ regenerasi petani.

Dalam hal ini, anak dari rumah tangga petani miskin cenderung enggan meneruskan pekerjaan orangtua, karena keinginan memperbaiki taraf hidup. Efeknya, produktifitas pertanian menurun seiring usia petani yang semakin tua.

Pada akhirnya, dari segala sesuatu yang telah diulas, maka ujung dari “ribut” kenaikan harga beras mestinya bukan heran dan pertanyaan. Tapi, keberpihakan.

Keberpihakan dari hulu ke hilir yang ditunjukkan dengan pertarungan sebagai pemangku kebijakan.

https://nasional.kompas.com/read/2024/03/06/08054751/politisi-harga-beras-dan-kegaduhan

Terkini Lainnya

Momen Sri Mulyani Kenalkan Ponakan Prabowo Thomas Djiwandono ke Publik

Momen Sri Mulyani Kenalkan Ponakan Prabowo Thomas Djiwandono ke Publik

Nasional
24 WNI Kedapatan Palsukan Visa Haji, Kemenag Wanti-wanti Jemaah Pakai Visa Resmi

24 WNI Kedapatan Palsukan Visa Haji, Kemenag Wanti-wanti Jemaah Pakai Visa Resmi

Nasional
139.421 Jemaah Haji Indonesia Tiba di Arab Saudi hingga Hari ke-20 Keberangkatan, 28 Wafat

139.421 Jemaah Haji Indonesia Tiba di Arab Saudi hingga Hari ke-20 Keberangkatan, 28 Wafat

Nasional
22 WNI Pengguna Visa Haji Palsu Dideportasi dari Arab Saudi, Ongkos Pulang Ditanggung Sendiri

22 WNI Pengguna Visa Haji Palsu Dideportasi dari Arab Saudi, Ongkos Pulang Ditanggung Sendiri

Nasional
Pancasila Vs Ideologi 'Ngedan'

Pancasila Vs Ideologi "Ngedan"

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masalah Jampidsus Dikuntit Densus Berakhir | Jokowi Izinkan Ormas Kelola Tambang

[POPULER NASIONAL] Masalah Jampidsus Dikuntit Densus Berakhir | Jokowi Izinkan Ormas Kelola Tambang

Nasional
MA Telah “Berfatwa”, Siapa Memanfaatkan?

MA Telah “Berfatwa”, Siapa Memanfaatkan?

Nasional
Tanggal 4 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 4 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggapi Pernyataan Maruf Amin, Hasto Kristiyanto: Kita Sudah Tahu Arahnya ke Mana

Tanggapi Pernyataan Maruf Amin, Hasto Kristiyanto: Kita Sudah Tahu Arahnya ke Mana

Nasional
Budi-Kaesang Diisukan Maju Pilkada Jakarta, Ridwan Kamil: Selalu Ada 'Plot Twist'

Budi-Kaesang Diisukan Maju Pilkada Jakarta, Ridwan Kamil: Selalu Ada "Plot Twist"

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Periksa Adik Sandra Dewi Jadi Saksi

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Periksa Adik Sandra Dewi Jadi Saksi

Nasional
Di Ende, Megawati Kukuhkan Pengurus 'Jaket Bung Karno'

Di Ende, Megawati Kukuhkan Pengurus "Jaket Bung Karno"

Nasional
Ingin Usung Intan Fauzi di Pilkada Depok, Zulhas: Masa yang Itu Terus...

Ingin Usung Intan Fauzi di Pilkada Depok, Zulhas: Masa yang Itu Terus...

Nasional
Jokowi dan Megawati Peringati Harlah Pancasila di Tempat Berbeda, PDI-P: Komplementer Satu Sama Lain

Jokowi dan Megawati Peringati Harlah Pancasila di Tempat Berbeda, PDI-P: Komplementer Satu Sama Lain

Nasional
Serangan di Rafah Berlanjut, Fahira Idris: Kebiadaban Israel Musnahkan Palestina

Serangan di Rafah Berlanjut, Fahira Idris: Kebiadaban Israel Musnahkan Palestina

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke