Ia mengatakan, proses itu cukup panjang dan juga dipengaruhi kesepakatannya dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden ke 10 dan 12, Jusuf Kalla.
Prosesnya berlangsung sejak ia menempuh pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Saat itu, Muhaimin merasa bahwa peran para ulama dalam kemerdekaan Indonesia ditutupi oleh pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
“Ini sejarah tidak boleh ditutup-tutupi, karena zaman Orde Baru peran ulama ditutup-tutupi. Begitu reformasi terwujud, mulai kita rintis pengakuan ulama-ulama sebagai pejuang masuk menjadi mata pelajarah sejarah seluruh pendidikan nasional kita,” tutur dia di Pondok Pesantren Syaichona Moh Cholil, Bangkalan, Rabu (31/1/2024) malam.
Kala itu, Muhaimin dan sejumlah mahasiswa berlatar belakang santri Nahdlatul Ulama (NU) merasa peran pendiri NU untuk kemerdekaan Indonesia tidak didokumentasikan dengan baik.
Padahal, berbagai arsip sejarah mencatat pergerakan politik mereka di masa kolonial Belanda.
Beberapa tokoh pendiri NU yang dimaksud Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu adalah KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Moh Choli, dan KH Bishri Syansuri.
Kemudian, momentum tiba ketika Jokowi dan Jusuf Kalla mendatanginya untuk meminta dukungan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
“Saya jawab,’Saya dukung asal Pak Jokowi mengakui 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional,’ Alhamdulillah, begitu dilantik menjadi Presiden, (Jokowi) langsung membuat peraturan presiden yang memutuskan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional,” tutur dia.
Saat itulah, Muhaimin mendapatkan perintah untuk menjadi panglima santri karena dianggap telah berhasil merealisasikan Hari Santri Nasional.
“Waktu itu saya jawab, ’Bismillah saya terima, tapi saya minta bintangnya,’ Karena panglima TNI bintangnya empat, saya harus di atas panglima TNI, bintangnya sembilan. Bintangnya Nahdlatul Ulama,” ujar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/01/09582631/cerita-awal-mula-jadi-panglima-santri-muhaimin-singgung-saat-jokowi-minta