Salin Artikel

Revisi UU MK Dipastikan Tak Akan Disahkan Hari Ini

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memastikan bahwa revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) tidak akan disahkan pada rapat paripurna yang akan diselenggarakan hari ini, Selasa (5/12/2023).

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, keputusan itu diambil bukan karena adanya surat yang dilayangkan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD ke DPR, Senin (4/12/2023) kemarin.

Menurutnya, keputusan itu diambil berdasarkan kesepakatan fraksi-fraksi yang disepakati sebelum surat itu sampai ke DPR.

"Atas kesepakatan dari kawan-kawan fraksi, ini bukan karena surat yang dikirim, memang dari kemarin sudah kesepakatan dari fraksi-fraksi untuk menunda sidang paripurna atau diparipurnakannya pengambilan keputusan revisi UU MK," ungkap Dasco saat ditemui, Senin sore.

Pada Senin siang, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM telah melayangkan surat ke DPR untuk tidak melakukan rapat paripurna mengesahkan revisi UU MK.

Mahfud mengingatkan bahwa saat ini semua pihak harus memperhatikan Putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Rabu (29/11/2023).

Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa revisi masa jabatan maupun syarat usia minimal hakim konstitusi tak dapat dikenakan untuk hakim yang tengah menjabat.

Rugikan pihak tertentu

Mahfud berpandangan bahwa revisi UU MK bisa merugikan para hakim Konstitusi.

Salah satu substansi yang hendak diubah adalah masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga berumur 70 tahun dikembalikan menjadi 5 tahun.

Untuk hakim yang sedang menjabat, dikembalikan ke lembaga pengusul untuk menentukan nasibnya melalui permintaan konfirmasi.

Selain masa jabatan, usia minimal hakim konstitusi juga dikhawatirkan hendak diubah dari 55 tahun menjadi 60 tahun.

Ada tiga hakim konstitusi yang usianya belum mencapai 60 tahun, yaitu Guntur Hamzah, Saldi Isra, dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.

"Kalau kita ikuti yang diusulkan oleh DPR, itu berarti itu akan merugikan subjek yang sekarang sedang menjadi hakim. Sehingga kita pada waktu itu tidak menyetujui," tegas calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 itu.

Sejauh ini, UU MK sudah 3 kali direvisi, dan semua revisi itu selalu mengutak-atik usia dan periode jabatan hakim.

Tak ada urgensi

Rencana revisi UU MK akhir-akhir ini mendapat sorotan karena terkesan dilakukan DPR dan pemerintah secara senyap.

Melansir Harian Kompas, pembahasan revisi itu dilakukan di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada Selasa-Rabu (28-29/11/2023), alih-alih dilakukan di ruang kerja Komisi III.

Diketahui, revisi UU ini tidak pernah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Namun demikian, revisi ini ditargetkan tuntas pada 5 Desember 2023.

Mahfud mengaku terkejut atas langkah DPR yang membahas revisi tersebut. 

"Kita juga kaget karena itu tidak ada di Prolegnas, tapi setelah kita konsultasikan ya mungkin, ya ada kebutuhan, ya kita layani," katanya.

Selain itu, menurutnya, tidak ada kegentingan yang mengharuskan UU ini perlu segera direvisi. Kalaupun kegentingan itu ada, seharusnya jalan yang ditempuh melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Kalau Perppu baru ada unsur kegentingan. Dalam hal ikhwal, kegentingannya ini ndak ada. Tetapi ini diusulkan oleh DPR," ungkap mantan Ketua MK ini.

Mahfud pun mewanti-wanti agar proses revisi beleid ini tidak sampai merugikan berbagai pihak. Terlebih, revisi itu bakal diketok menjelang Pemilu 2024.

Ia menambahkan, sejauh ini pemerintah belum menandatangani pembahasan di tingkat 1 untuk melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Ini karena pemerintah belum sepaham soal aturan peralihan yang ingin dicapai dalam revisi UU MK.

"Pemerintah belum menyetujui terhadap RUU itu. Itu benar. Kami belum menyetujui dan secara teknis prosedural belum ada keputusan rapat tingkat 1. Rapat tingkat 1 itu artinya pemerintah sudah menandatangani bersama seluruh fraksi," ucapnya.

"Waktu itu pemerintah belum tanda tangan karena masih keberatan terhadap aturan peralihan," sambung dia.

Bantah dikebut

Sementara itu, Dasco tak sepakat jika DPR disebut kejar tayang dalam membahas revisi UU MK.

Menurutnya, proses penyusunan revisi UU MK sudah dimulai sejak Februari.

"Revisi UU MK ini bukan pada saat saat sekarang ini. Jadi kalau ditanya urgensinya, ini sudah berproses dari bulan Februari sehingga kemudian proses-proses ini berjalan. Sehingga kemarin sudah sampai pada puncaknya persetujuan antara pemerintah dan DPR," kata Dasco.

"Ini kawan-kawan juga mempertimbangkan anggapan-anggapan bahwa ini kemudian akan UU ini dipolitisasi dan lain lain sehingga kemudian salah satu pertimbangannya bahwa teman-teman sepakat untuk menunda revisi UU MK," sambungnya.

Dasco melanjutkan, fraksi-fraksi yang membahas revisi UU MK juga sudah memiliki pertimbangan utama untuk menunda pengesahan.

Pertama, alasannya karena fraksi menghindari berbagai pemberitaan negatif seperti yang sudah beredar mengenai dikebutnya revisi UU MK.

"Bahwa kemudian ada maksud untuk kawan-kawan di DPR merugikan salah satu pihak, padahal tidak demikian," imbuh Ketua Harian DPP Partai Gerindra ini.

https://nasional.kompas.com/read/2023/12/05/08463641/revisi-uu-mk-dipastikan-tak-akan-disahkan-hari-ini

Terkini Lainnya

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK,

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK,

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke