Salin Artikel

Ketegasan Pimpinan Demi Netralitas ASN

Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang memiliki tugas menjaga netralitas PNS menegur 67 kepala daerah terkait pelanggaran PNS di lingkungan wilayah kerjanya (Indonesia.baik.id, 2020).

Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 2021, menetapkan hukuman kepada 991 ASN karena keberpihakan dalam pilkada.

Menyikapi hingar bingar pemilihan presiden 2024, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dengan isu strategis netralitas ASN (21/9/2023).

Menurut Bawaslu, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat, Gorontalo, dan Lampung menjadi kawasan yang rawan dalam kasus netralitas ASN.

Padahal sudah ada seperangkat peraturan untuk membentengi pegawai pemerintah agar menjunjung marwah ASN.

Undang-Undang ASN Nomor 5 tahun 2014 pasal 2 (RUU perubahan sudah disahkan), menegaskan ASN harus patuh pada asas netralitas.

Ketidakpatuhan yang dicerminkan dalam bentuk ucapan, tulisan, atau perbuatan, maka ASN harus bersedia menerima sanksi moral, baik dalam bentuk pernyataan tertutup maupun dalam bentuk pernyataan terbuka.

Tidak hanya sanksi moral, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengamanatkan pemberian sanksi dalam bentuk lainnya.

PP Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 5 melarang ASN memberikan dukungan, ikut dalam kegiatan kampanye, membuat keputusan, dan mengadakan kegiatan untuk kemenangan satu calon.

Namun, mengapa tetap saja ada ASN tidak netral?

Sejarah berulang

Pada masa orde lama, birokrasi kita labil dan karier tidak jelas karena PNS menjadi anggota atau pengurus partai politik (Nainggolan, 2021).

Pada 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno memberlakukan Demokrasi Liberal yang berlangsung hingga 5 Juli 1959.

Dalam kurun waktu sembilan tahun itu, terjadi sebanyak tujuh kali pergantian kabinet dengan perdana menteri yang juga berbeda-beda, PNS terombang-ambing.

Susanto (2018) menyebutkan terjadi tujuh kali pergantian kebinet, mulai dari Kabinet Natsir hingga Kabinet Djuanda. Partai-partai saling menjatuhkan untuk keuntungan partainya.

Alih-alih menjadi alat pemersatu, pelayan masyarakat, dan penyelenggara pemerintahan, PNS lebih mengedepankan kepentingan partainya.

Nainggolan membandingkan dengan masa Orde Baru. Pada masa tersebut, praktis hampir semua PNS menjadi anggota dari satu organisasi peserta pemilu.

Birokrasi relatif solid, kuat. Birokrasi menjadi salah satu komponen penting untuk mempertahankan dan memperkuat kekuasaan.

Setiap Pemilu dimenangkan secara mutlak satu peserta pemilu. Pelaksanaan pemilu dianggap formalitas karena sudah dapat dipastikan pemenangnya.

Stesel pasif diberlakukan secara efektif oleh Orde Baru, dengan memberikan kartu tanda anggota peserta pemilu kepada PNS sonder mengajukan permintaan.

Setelah reformasi, birokrasi dan PNS bebas dari hiruk pikuk politik praktis dalam setiap pemilu. PNS dilarang menjadi anggota parpol dan dilarang ambil bagian dalam setiap perhelatan politik praktis.

Walaupun sudah bebas dari keharusan menjadi anggota parpol, ASN tetap menjadi lumbung suara yang menggiurkan. Arena pilkada menjadi tempat untuk memasang jebakan agar ASN berpihak kepada salah satu calon pilkada.

Bima Haria Wibisana, mantan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) meminta ASN untuk mewaspadai jebakan kampanye yang melibatkan PNS.

"Tapi harus hati-hati juga karena banyak juga yang menjebak. Jadi ada pertemuan mereka diundang, nggak ada di awal ngomong tentang partai, tiba-tiba di dalam ada spanduk, mereka dianggap tidak netral. Ini yang juga harus kita lihat betul," kata Bima, Rabu (4/1/2017).

ASN terbelenggu

Pilihan menjadi ambtenaar bagi sebagian kalangan menjadi prioritas utama. Profesi ini memiliki job security lebih baik.

Tidak ada ancaman PHK dan memiliki nilai sosial lebih tinggi apalagi mendapat kedudukan yang mentereng. Keinginan berada dalam kondisi nyaman menjadikan ASN terbelenggu secara kultural, patronasi politik, dan tekanan atasan.

Namun saya mencatat belenggu memperjuangkan satu ideologi lebih kuat dari lainnya. Ada rekan pejabat struktural mengeluh karena beberapa bawahan sering meninggalkan ruang kerja hanya untuk melakukan kegiatan yang tidak ada hubungan dengan tugas pada saat jam kerja.

Namun sang teman harus menghindari pertengkaran karena malu dan terpojok setelah bawahannya mengeluarkan dalil-dalil dogmatis.

Dalam ruang pelatihan, ASN ketidaknetralan dimunculkan dengan simbol-simbol tertentu. Nama-nama kelompok diskusi menggunakan kosa kata bukan dari bahasa Indonesia, tapi dari bahasa Timur Tengah. Ketika diskusi berlangsung, maka tampak sekali ASN terbelah.

Saya pernah ditegur agar malam penutupan pelatihan tidak menampilkan acara seni budaya, tapi renungan malam, yang biasanya akan menjadikan ruangan diisi dengan tangisan dan teriakan jargon perjuangan.

Memasang foto calon di kursi dan menyebarkan ajakan untuk ikut kampanye parpol tertentu secara terang-terangan didengar dan diketahui oleh pimpinan instansi, namun terjadi pembiaran oleh pimpinan.

Bagi Sri Mulyani Indrawati, ada hal yang lebih sulit ketimbang mengurus keuangan negara. Hal yang dimaksud adalah membuat pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menerima perbedaan di internal kementerian.

Bukan hanya tidak mau bersalaman. Sri Mulyani juga ternyata pernah memergoki salah satu direktur di Kemenkeu yang mengungkapkan ekspresi religiusitas via media sosial.

"Saat itu energi saya habis terkuras. Mengurusi hal ini lebih capek dari pada mengurusi keuangan negara," kelakar Sri Mulyani.

Mantan eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu kemudian melakukan komunikasi dengan berbagai pihak sehingga muncul kebijakan untuk makan siang bersama antardirektorat.

"Supaya mereka tidak makan siang dengan teman yang sama, yang agamanya sama, yang dulu kuliahnya sama, makanya menjadi orang yang kayak gitu terus. Supaya masing-masing pegawai Kemenkeu bisa menerima setiap perbedaan yang ada," ujarnya.

Ketidaknetralitasan ASN sulit ditiadakan apabila sudah masuk pada tataran kerohanian. Karena itu, ketegasan pimpinan instansi terkait menjadi sangat penting agar peraturan netralitas mempunyai kekuatan yang menggetarkan.

https://nasional.kompas.com/read/2023/11/04/17145791/ketegasan-pimpinan-demi-netralitas-asn

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke