JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan mantan pelapor khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Marzuki Darusman, meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelidiki dugaan keterlibatan 3 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam penjualan senjata ke junta Myanmar.
Ketiga BUMN itu adalah PT Perindustrian Angkatan Darat (PINDAD), PT Penataran Angkatan Laut (PAL), dan PT Dirgantara Indonesia.
Dalam permohonannya, Marzuki Darusman meminta agar Komnas HAM melakukan penyelidikan dan bukti-bukti lebih lanjut terhadap dugaan keterlibatan tiga BUMN tersebut.
Ia juga meminta agar Komnas HAM membentuk tim khusus pencari fakta terkait bisnis perdagangan senjata dan kaitannya dengan HAM.
Di sisi lain, Marzuki mendesak pemerintah termasuk Kementerian Pertahanan dan Kementerian BUMN menghentikan secara permanen perdagangan senjata dengan junta militer Myanmar.
"Hingga situasi konflik berhenti dan transisi sejati menuju demokrasi telah terjadi di Myanmar," tulis laporan yang dilayangkan kepada Komnas HAM, Selasa (3/10/2023).
Menurut Marzuki, ketiga BUMN itu diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat karena menjual senjata ke junta militer Myanmar.
Dugaan itu tertuang dalam laporan pengaduan dugaan pelanggaran HAM yang dilayangkan Marzuki.
Dalam laporan tersebut dijelaskan terdapat pelanggaran HAM berat di Myanmar yang dilakukan oleh junta militer.
"Entitas bisnis Indonesia yaitu PT Pindad, PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia telah terlibat dalam pelanggaran HAM berat tersebut melalui perdagangan senjata dengan pihak yang terafiliasi dengan junta militer Myanmar," ujar Marzuki.
Dalam laporan itu disebutkan 3 BUMN itu melanggar ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM.
"Serta Konvensi Jenewa 1949 dan perjanjian internasional tentang perdagangan senjata," ucap Marzuki.
Sebab itu, Marzuki menilai Komnas HAM berwenang menyelidiki dugaan keterlibatan 3 BUMN tersebut dalam kasus pelanggaran HAM berat di Myanmar.
Komnas HAM melalui Komisionernya, Hari Kurniawan menyebut pengaduan itu diterima Komnas HAM pada Selasa sore.
Ia menyebut saat ini masih dalam proses penelaahan sebelum Komnas HAM memberikan sikap resminya.
"Komnas HAM belum bisa mengambil sikap, (masih) menunggu telaah bagian pengaduan sesuai prosedurnya," ucap Hari, Rabu (4/10/2023).
Defend ID merupakan induk perusahaan, menaungi PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia yang dilaporkan ke Komnas HAM karena disebut menjual menjual senjata ke Myanmar.
“Dapat kami sampaikan bahwa tidak ada kerja sama maupun penjualan produk alpahankam dari perusahaan tersebut ke Myanmar,” kata Direktur Utama PT Len Industri (Persero) Holding Defend ID, Bobby Rasyidin, dalam keterangan pers, Rabu (4/10/2023).
Bobby melanjutkan, Defend ID tidak pernah memasok atau mengekspor senjata ke Myanmar sejak 1 Februari 2021.
Hal itu sejalan dengan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) nomor 75/287 yang melarang suplai senjata ke Myanmar.
Bobby mengatakan, Defend ID mendukung penuh resolusi PBB dalam upaya menghentikan kekerasan di Myanmar yang saat ini dikuasai rezim junta militer.
“Defend ID selalu patuh dan berpegang teguh pada regulasi yang berlaku termasuk kebijakan politik luar negeri Indonesia,” ujar Bobby.
Secara terpisah, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (DI) Gita Amperiawan membantah perusahaan yang dipimpinnya menjual senjata ke pemerintah Myanmar.
“Sejak PT PI berdiri, tidak pernah ada transaksi atau sales kontrak dengan pemerintahan Myanmar,” kata Gita melalui pesan tertulisnya, Rabu (4/10/2023).
“PT DI tidak pernah bertransaksi dengan pemerintah Myanmar baik secara langsung maupun tidak langsung,” ujar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/04/20361101/komnas-ham-diminta-selidiki-3-bumn-diduga-jual-senjata-ke-junta-militer