JAKARTA, KOMPAS.com - Konfederasi Besar (Konbes) dan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) menghasilkan empat sikap resmi menanggapi kekerasan oleh aparat negara terhadap warga di Pulau Rempang, Batam.
"Pertama, penggunaan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam sengketa tanah rakyat harus dihentikan," ucap Ketua Komisi Rekomendasi Bahtsul Masail NU, Ulil Abshar Abdalla, dalam jumpa pers di Asrama Haji Pondok Gede, Selasa (19/9/2023).
Kedua, NU menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi tak boleh dicapai dengan melanggar hak-hak rakyat kecil.
Investasi dan pembangunan memang dibutuhkan, namun itu hanya lah sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan manusia. Sehingga, kata dia, hal itu justru kontraproduktif apabila malah merugikan manusia.
"Kemaslahatan manusia harus jadi pertimbangan pokok," ucap Ulil.
Ketiga, NU mendorong pemerintah dan masyarakat untuk menenangkan diri. Khusus untuk pemerintah, aparat diharuskan mendengar aspirasi rakyat agar kepentingan investasi tidak justru memakan korban.
"Terakhir, mengajak rakyat di Rempang untuk bersabar dan terus berdoa kepada Allah agar dicapai solusi terbaik," ungkap Ulil.
Sebagai informasi, kekerasan bermula saat aparat gabungan Satpol PP, Polri dan TNI berniat membebaskan lahan pada 7 September 2023 di Jembatan 4 Barelang, Kota Batam, Kepulauan Riau, untuk memuluskan proyek Rempang Eco-city.
Peristiwa ini memancing kemarahan dan penolakan warga lokal yang telah mendiami kawasan itu turun-temurun.
Analisis hasil investigasi tim gabungan yang digawamgi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dkk mengungkap banyaknya dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa ini.
Mereka mengidentifikasi telah terjadi brutalitas aparat dan penggunaan kekuatan berlebihan sehingga mengakibatkan tindakan kekerasan.
Penggunaan kekuatan berlebihan salah satunya tercermin dalam penembakan gas air mata di dekat fasilitas sipil, semisal sekolah.
Masyarakat juga tidak dimintai persetujuannya sebelum proyek eco-city ini berjalan dan mengorbankan tanah warga Rempang.
Peristiwa 7 September 2023 pun melahirkan penangkapan sewenang-wenang terhadap 8 orang warga.
Padahal Pasal 66 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 secara jelas menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Sementara itu, Menteri Investasi Bahlil Labadila menegaskan bahwa Pulau Rempang harus sudah kosong pada 28 September, sesuai perjanjian antara Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dengan pihak investor.
Pemerintah berjanji akan memenuhi hak-hak warga Pulau Rempang yang terdampak relokasi dari investasi.
Proses penanganan gejolak penolakan warga atas relokasi itu juga dijanjikan akan dilakukan secara lembut dan baik.
Hal tersebut disampaikan Bahlil seusai memimpin rapat teknis di Kota Batam, Kepulauan Riau, Minggu (17/9/2023), terkait kondisi Pulau Rempang yang akhir-akhir ini memanas.
Rapat itu juga diikuti Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/Kepala BPN) Hadi Tjahjanto serta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Selain itu, rapat juga dihadiri Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Ansar Ahmad, dan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi.
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/19/16080521/konbes-munas-alim-ulama-nu-minta-tak-ada-lagi-kekerasan-negara-di-rempang