JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memiliki data intelijen soal kondisi internal dan agenda partai politik (parpol) dinilai menjadi bentuk nyata campur tangan atau cawe-cawe, menjelang pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
"Pernyataan Jokowi itu adalah bukti bahwa dia cawe-cawe dan melakukan penyalahgunaan kekuasaan," kata pakar hukum tata negara Feri Amsari, saat dihubungi pada Senin (18/9/2023).
Sikap Jokowi yang membeberkan memiliki data intelijen juga dianggap tidak patut dan memperlihatkan watak seorang pemimpin yang berlebihan dalam menggunakan kekuasaannya demi memastikan agenda politiknya tetap berjalan.
"Bagi saya Jokowi telah menggunakan kekuasaannya berlebihan dengan mengungkap data intelijen, padahal itu harusnya tak perlu diungkap ke publik," ujar Feri.
Feri juga menyinggung kisah Presiden ke-37 Amerika Serikat, Richard Milhous Nixon, yang memutuskan mengundurkan diri dan nyaris dimakzulkan karena diduga berada di balik operasi klandestin dan penyadapan terhadap Partai Demokrat AS, pada 1972 sampai 1974.
Skandal itu terbongkar saat sejumlah orang yang membobol kantor Komite Nasional Partai Demokrat AS tertangkap. Saat itu mereka melakukan operasi klandestin dan penyadapan terhadap kantor tersebut dengan tujuan memenangkan Nixon yang berasal dari Partai Republik dalam Pilpres AS pada 1972.
Ketika itu, Nixon dan sejumlah orang dekatnya diduga sengaja mengerahkan agen Dinas Intelijen Pusat AS (CIA), Biro Penyelidikan Federal (FBI), sampai Direktorat Jenderal Pajak (IRS) sebagai senjata politiknya melawan pesaingnya, George Stanley McGovern, dari Partai Demokrat AS.
Para aparat itu disebut memasok informasi kepada Komite Pemilihan Kembali Petahana (CREEP) dari Partai Republik yang menjadi tim pemenangan Nixon.
Saat skandal itu terungkap, Nixon dan orang-orang dekatnya berusaha menutupi. Namun, berbagai fakta yang diungkap melalui media massa justru membuat posisi Nixon semakin terpojok dan nyaris dimakzulkan.
Alhasil Nixon memilih mengundurkan diri dari jabatannya pada 9 Agustus 1974. Dia kemudian digantikan oleh wakilnya, Gerald Ford, dan diampuni kesalahannya. Nixon tercatat sebagai satu-satunya presiden AS yang mengundurkan diri.
"Bagi saya ini sudah mirip peristiwa Richard Nixon yang memeriksa pergerakan lawannya," ucap Feri.
Pernyataan itu disampaikan Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Hotel Salak, Bogor, Sabtu (16/9/2023) pekan lalu.
"Saya tahu dalamnya partai seperti apa saya tahu, partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin mereka menuju ke mana juga saya ngerti," kata Jokowi.
Jokowi tidak membeberkan informasi apa yang ia ketahui dari partai-partai politik itu.
Ia hanya menjelaskan informasi itu ia dapat dari aparat intelijen yang berada di bawah kendalinya, baik itu Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, maupun Badan Intelijen Strategis (BAIS) Tentara Nasional Indonesia (TNI).
"Dan informasi-informasi di luar itu, angka, data, survei, semuanya ada, dan itu hanya miliknya presiden karena dia langsung ke saya," ujar Jokowi.
Dalam kesempatan itu Jokowi juga menyampaikan soal pergantian kepemimpinan melalui pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Jokowi menekankan pentingnya suksesi kepemimpinan pada 2024 mendatang demi mewujudkan Indonesia menjadi negara maju.
"Ini penting, 2024, 2029, 2034, itu sangat menentukan negara kita bisa melompat menjadi maju atau kita terjebak dalam middle income trap, terjebak pada jebakan negara berkembang," ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, prediksi itu berdasarkan analisis para pakar dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), McKinsey, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Jokowi mengatakan, Indonesia hanya punya waktu selama 3 periode kepemimpinan untuk mengubah status dari negara berkembang menjadi negara maju.
Menurut Jokowi, Indonesia tidak boleh bernasib sama seperti banyak negara Amerika Latin yang terus berada dalam posisi negara berkembang sejak 1950-an, padahal memiliki kesempatan buat menjadi negara maju.
"Kita tidak mau itu, dan kesempatan itu hanya ada di 3 periode kepemimpinan nasional kita. Itulah yang sulit," ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, Indonesia di masa mendatang membutuhkan pemimpin yang bisa mengantarkan masyarakat berada di posisi negara maju, dan membawa kemakmuran dan kesejahteraan.
"Tapi memang kepemimpinan itu sangat menentukan. Itulah yang akan melompatkan kita nanti menjadi negara maju," ucap Jokowi.
"Tetapi ini harus konsisten pemimpin siapapun ke depan harus ngerti masalah ini, tau mengenai ini. Mau kerja detail, mau menghitung, mau mengkalkulasi, dan cek di lapangan," sambung Jokowi.
Secara terpisah, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, sebagai presiden, Jokowi berhak dan bahkan mendapat perintah dari undang-undang untuk mengantongi informasi intelijen.
Mahfud menambahkan, pejabat setingkat Menteri Koordinator (Menko) secara berkala juga mendapatkan informasi intelijen terkait partai politik, masyarakat, persoalan hukum, dan isu sensitif di masyarakat.
“Ya enggak bisa dong (Jokowi disalahkan), memang laporan presiden. Menteri saja punya apalagi presiden,” ujar Mahfud saat ditemui usai menghadiri jalan sehat di kompleks Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Jakarta Pusat, Minggu (17/9/2023).
(Penulis: Syakirun Ni'am, Editor: Bagus Santosa)
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/19/06150001/jokowi-pegang-data-intelijen-parpol-dinilai-bentuk-nyata-cawe-cawe-