JAKARTA, KOMPAS.com - Masih lekat dalam ingatan Mohammad Bondan, sosok Mohammad Hatta yang disiplin dan penuh perjuangan.
Bagaimana tidak, selama satu tahun lamanya, Bondan hidup bersama Hatta dan lima pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya dalam pengasingan di Boven Digoel, wilayah yang kini masuk dalam teritori Papua Selatan.
Selain Bondan dan Hatta, lima orang lain yang dibuang pemerintah Belanda ke Boven Digoel yakni Sutan Syahrir, Burhanuddin, Sumitro Reksodiputro, Maskun, dan Marwoto.
Para tokoh ini dianggap berbahaya oleh Belanda karena aktivitas mereka dalam organisasi bentukan Bung Hatta bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI)-Baru.
Ketika ditangkap oleh Belanda tahun 1935, Bondan menjabat sebagai Komiaris Utama PNI-Baru.
Empat tahun sebelum itu atau kisaran tahun 1931, untuk pertama kalinya Bondan berinteraksi langsung dengan Hatta melalui surat. Ketika itu, Hatta masih menempuh studi di Belanda.
Setahun setelahnya, Hatta pulang ke Tanah Air. Bondan pun ikut menyambut kepulangan Hatta dengan menemuinya di kapal yang baru bersandar di pelabuhan.
“Setelah bersalaman, ia menyebut nama saya dengan tersenyum. Bung Hatta tetap tenang, tapi malah menambah dalamnya arti pertemuan itu,” kata Bondan sebagaimana dikisahkan Kompas, 17 Maret 1980.
Canda Bung Hatta
Siapa sangka, 3 tahun setelah pertemuan itu, Bondan diasingkan bersama Hatta dan lima orang lainnya.
Banyak menghabiskan waktu bersama Hatta membuat Bondan paham bahwa laki-laki asal Bukittingi tersebut tak selalu serius, tapi juga sesekali berhumor.
Ketika para tahanan politik Belanda dibawa ke Boven Digoel, misalnya, di atas kapal, Hatta berulang kali mencoba mencairkan suasana.
Saat itu, ketika kapal sedang singgah di Makassar, tiba-tiba Hatta berceletuk tentang teka-teki. Dia bertanya, kata apa yang mengandung 4 huruf k di dalamnya.
Semua yang ada di kapal terdiam, termasuk Syahrir. Bondan pun mencoba menjawab.
“Lekerkekker (kue mainan),” celetuknya.
Namun, ucapan Bondan itu disanggah Syahrir. Katanya, itu terdiri dari dua kata.
Bung Hatta hanya terdiam melihat pemandangan itu. Sampai akhirnya dia menjawab sendiri pertanyaannya, “kakkerlak (lipas),” katanya.
Setelahnya, Hatta juga sempat melempar candaan, meski dalam suasana serius. Ia bertanya tentang berapa warna pelangi, dan pertanyaan lain semacamnya.
“Itulah humor Bung Hatta. Tapi, meski tidak banyak memulai humor, beliau sangat menikmati suasana gembira di antara kami sehingga suasana pembuangan hampir tak terasa,” tutur Bondan.
“Hampir seluruh waktunya ditumpahkan untuk belajar,” katanya.
Selama berada di Boven Digoel, kata Bondan, dirinya, Hatta, dan tahanan Belanda lain juga kerap bermain sepak bola.
Bung Hatta memilih sebagai bek atau pemain belakang, Syahrir di posisi centervoor atau gelandang, dan Bondan di sayap kanan.
“Kalau tidak, ia main catur atau dam-daman,” ungkap Bondan.
“Tetap semua itu dilakukan tanpa perhatian khusus, sehingga kalau kalah main pun tak ada pengaruhnya pada sikap Bung Hatta,” tuturnya.
Disiplin
Selama satu tahun tinggal bersama Hatta, Bondan pun menyadari bahwa lelaki yang kelak menjadi wakil presiden pertama RI ini sangat disiplin.
Katanya, Hatta punya kebiasaan membuat “time table” kegiatan sehari-harinya di Boven Digoel.
“Jam sekian menyalakan api untuk masak air. Dari jam sekian ke jam sekian belajar,” ungkap Bondan.
Kebersamaan Bondan dan Hatta di Boven Digoel berakhir ketika tahun 1936 pemerintah Belanda memindahkan Hatta dan Syahrir ke Bandaneira, Maluku.
Bondan sendiri tetap di Boven Digoel sampai Jepang menginjakkan kaki di tanah Papua sekitar tahun 1943. Tahanan politik di Boven Digoel pun diangkut oleh Belanda ke Australia.
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/13/05300031/16-peti-buku-dan-permainan-catur-bung-hatta-dalam-pengasingan-