JAKARTA, KOMPAS.com - Tren polusi udara yang terjadi di wilayah Jabodetabek belakangan ini disebut selalu melebihi batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, WHO memberikan pedoman untuk melakukan pemantauan terhadap 5 komponen di udara.
Kelima komponen itu terdiri dari 3 komponen bersifat gas yaitu nitrogen, karbon, dan sulfur, serta 2 komponen partikulat atau particulate matter (PM) yaitu PM 10 dan PM 2,5.
"Dalam dua tahun terakhir di Jabodetabek tren polusi udara melebihi batas aman WHO. Jadi kita tidak pernah memenuhi standarnya WHO," kata Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/8/2023) kemarin.
Budi mengatakan, berdasarkan data pemantauan kualitas udara di Jabodetabek 2021-2023 saja misalnya, temuan PM 2,5 di wilayah itu cukup tinggi dan fluktuatif.
"PM 2,5 ini biasa diukur di semua negara yang polusinya tinggi," ujar Budi.
Saat ini Indonesia masih menggunakan aturan lama dari WHO, yakni untuk rata-rata 24 jam sebesar 55 mikrogram per meter kubik, dan rata-rata per tahun sebesar 15 mikrogram per meter kubik.
"Itu yang dipakai di Permenkes dan PermenKLHK. Jadi untuk PM 2,5 yang ini sangat berbahaya bagi kesehatan, standarnya rata-rata 24 jam adalah 15, dan rata-rata satu tahunnya adalah 5," ucap Budi.
Pemerintah Indonesia, lanjut Budi, akan mencoba meniru kebijakan China dalam menangani masalah polusi udara di wilayah Jabodetabek.
Ia mengaku telah berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang akan menerapkan cara seperti di China tersebut.
Budi melihat negara-negara pada dasarnya butuh waktu selama 25 tahun untuk menurunkan tingkat polusi udara, tetapi China disebutnya hanya perlu waktu 6-7 tahun.
Rupanya, jelas Budi, kerja keras menurunkan tingkat polusi udara itu dilakukan China karena tak ingin negaranya dirundung oleh dunia. Sebab, waktu itu China menjadi tuan rumah Olimpiade di Beijing pada 2022.
Mereka tak ingin mendapat kritik karena masalah polusi udara.
"Dia enggak ingin di-bully sama dunia internasional dan tujuh tahun (polusi) turun, itu the best in the world," papar Budi.
Lebih jauh, Budi mengatakan bahwa China menggunakan metode yang sama dalam penanganan penularan Covid-19, yaitu memaksimalkan surveilans dan testing.
Menurut Budi, China memasang 1.000 alat monitor kualitas udara dengan harga terjangkau. Alat ini digunakan untuk memantau hotspot polusi.
"Dia pasang 1.000 alat monitor dengan kualitas sedang. Jadi enggak usah yang harus mahal-mahal, tapi yang penting jangkauannya ada di seluruh kota dipasang 1.000 untuk memantau," jelas Budi.
Apabila terdeteksi hotspot polusi, terang dia, kendaraan mobile reference monitor diterjunkan ke lokasi untuk menganalisis mendalam terkait sumber polutan. Kemudian, analisis data kualitas udara digital yang terpusat dilakukan.
"Kalau dipantau ternyata (kualitas udara) jelek, dia kirim mobil-mobilnya ini mungkin bisa ngecek sumbernya dari mana. Apakah ini sumbernya misalnya oh Bekasi jelek, kirim mobil. Apakah sebenarnya PLTU, oh bukan, ternyata dari pembakaran sampah Bantar Gebang. Itu sebabnya dari transportasi atau sampah, oh ini penyebabnya dari PLTU," tutur Budi.
(Penulis : Nicholas Ryan Aditya | Editor : Diamanty Meiliana)
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/31/05500091/tren-polusi-udara-jabodetabek-2-tahun-terakhir-lampaui-batas-aman-who