Hal itu disampaikan Jokowi menjawab pertanyaan wartawan soal sikap pemerintah terkait wacana revisi UU Peradilan Militer yang saat ini sedang mengemuka.
"Belum, belum sampai ke sana," ujar Jokowi di Sekretariat ASEAN, Jakarta Selatan, Selasa (8/8/2023).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berpandangan bahwa revisi UU Peradilan Militer memang perlu dibahas.
"Saya sependapat bahwa itu perlu segera dibahas," kata Mahfud di Kediaman Resmi Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Mahfud juga memastikan bahwa pemerintah mencatat aspirasi tersebut untuk dipertimbangkan.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengatakan, revisi UU Peradilan Militer sesungguhnya sudah masuk dalam program legislasi nasional jangka panjang.
"Nanti-lah kita bisa bicarakan kapan prioritas dimasukkan," ujar Mahfud.
Ia mengatakan, TNI akan tunduk dengan apa pun keputusan politik pemerintah terkait wacana revisi tersebut.
"Kalau mau diubah dan sebagainya, kita tunduk pada keputusan politik negara. Kita kan melaksanakan ini, ini adalah keputusan politik negara, ya kita laksanakan," kata Yudo Margono di Markas Besar TNI, Jumat (4/8/2023).
Desakan dari masyarakat
Adapun revisi UU Peradilan Militer didorong oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Mereka meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil langkah konkret atas desakan wacana revisi UU tersebut.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri yang tergabung dalam koalisi mengatakan, Komisi I DPR sebaiknya segera melakukan pembahasan revisi UU Peradilan Militer. Sebab, sudah menjadi wacana cukup lama di setiap periode pemerintahan pasca Reformasi.
Ia mengungkapkan, revisi UU Peradilan Militer sangat penting melihat perkembangan masalah hukum yang dihadapi menyangkut personel TNI yang terlibat perkara.
"Pentingnya langkah untuk merevisi UU 31/1997 dalam rangka mewujudkan supremasi sipil di Indonesia," kata Gufron melalui keterangannya, seperti dikutip pada Senin (7/8/2023).
Ia juga menekankan bahwa penanganan kasus dugaan suap mantan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi, dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto, memperlihatkan UU Peradilan Militer yang masih diberlakukan saat ini memicu beragam masalah.
Hal itu terlihat ketika terjadi reaksi penolakan dari TNI setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Afri dan sejumlah pihak swasta.
Menurut Gufron, UU 31/1997 sudah tidak relevan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam kasus Henri dan Afri, kata Gufron, TNI berkeras hanya mereka yang bisa menangani dan menetapkan status hukum kepada personel militer yang diperbantukan di lembaga sipil jika terlibat perkara.
Selain itu, proses persidangan kedua perwira TNI aktif tersebut hanya bisa dilakukan melalui peradilan militer. Meskipun, keduanya duduki jabatan sipil.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/08/10230101/soal-wacana-revisi-uu-peradilan-militer-jokowi-belum-sampai-ke-sana