JAKARTA, KOMPAS.com - Achmad Subardjo bertaruh nyawa untuk “melepaskan” Soekarno dan Hatta dari penculikan Rengasdengklok.
Dialah sosok yang berani memberikan jaminan bahwa kemerdekaan Indonesia akan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Alkisah, 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Mendengar kabar itu, para pemuda mendesak Soekarno untuk mengumukan proklamasi kemerdekaan pada 16 Agustus 1945.
Golongan muda yang diwakili oleh Wikana dan Darwis bahkan mengancam akan terjadi pertumpahan darah jika desakan mereka tak dikabulkan.
Namun, Soekarno dan golongan tua menolak. Mereka mengaku tak ingin terburu-buru, apalagi rencana proklamasi kemerdekaan Indonesia sedang dipersiapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Berangkat dari situ, 16 Agustus 1945 dini hari, para pemuda menculik Soekarno dan Hatta, membawanya ke sebuah rumah milik warga keturunan Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Soekarno dan Hatta dibawa ke luar kota karena para pemuda khawatir keduanya terpengaruh oleh Jepang. Selama penculikan, keduanya juga terus diyakinkan oleh golongan muda untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan.
Di Jakarta, Achmad Soebardjo bernegosiasi dengan kelompok muda. Mewakili golongan tua, Soebardjo bersepakat dengan Wikana untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Atas jaminan itu, Soebardjo lantas dibawa ke Rengasdengklok oleh perwakilan golongan muda, Yusuf Kunto, guna menjemput Soekarno dan Hatta.
Jaminan nyawa
Di Rengasdengklok, Soebardjo sempat bertemu Mayor Pembela Tanah Air (Peta) Subeno.
Kepada Soebardjo, Subeno bertanya, apakah mungkin proklamasi diumumkan sebelum tengah malam pada hari itu juga. Dengan cepat, Subardjo menjawab tidak mungkin.
“Sekarang sudah sekitar jam delapan (malam). Kami masih harus kembali ke Jakarta, lalu mengundang para anggota Badan Persiapan Kemerdekaan untuk rapat kilat. Kami khawatir harus bekerja semalam suntuk untuk menyelesaikannya,” kata Soebardjo sebagaimana dituliskan Harian Kompas, 16 Agustus 1969.
“Bagaimana kalau jam 6 besok pagi?” desak Mayor Subeno.
“Saya akan berusaha sekuat tenaga supaya selesai jam 6 pagi, tetapi sekitar tengah hari besok pasti sudah beres,” ucap Soebardjo.
“Kalau tidak, bagaimana?” lanjut Subeno.
“Mayor, kalau semua gagal, sayalah yang bertanggug jawab. Tembak matilah saya,” seru Soebardjo impulsif.
Mendengar ucapan Soebardjo, golongan muda merasa teryakinkan. Akhirnya, mereka sepakat untuk membawa Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
Tepat
Di Jakarta, Soekarno, Hatta, Soebardjo, dan beberapa anggota Badan Persiapan Kemerdekaan langsung menggelar rapat di kediaman Laksamana Tadashi Maeda yang terletak di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 (ketika itu disebut Jalan Miyakodoori), Menteng, Jakarta Pusat.
Hadir pula golongan muda dan beberapa orang lainnya dalam peristiwa bersejarah itu.
Di rumah Maeda, teks Proklamasi dirumuskan sedari tanggal 16 Agustus 1945 malam hingga 17 Agustus 1945 dini hari.
Meski dalam prosesnya terjadi perdebatan yang alot, namun, pada akhirnya naskah Proklamasi berhasil disusun, buah pemikiran Soekarno, Hatta, dan Subardjo.
Sedianya, kata Soebardjo, baik angkatan tua maupun para pemuda sedianya punya tujuan sama, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Hanya saja, cara yang ditempuh masing-masing golongan berbeda langgamnya.
Jaminan nyawa Soebardjo pun tak sia-sia. Prediksinya tepat, naskah Proklamasi dibacakan pada 17 Agustus pukul 10.00 WIB.
Kemerdekaan Indonesia tersebut dideklarasikan oleh Soekarno di kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat. Ini menandai berakhirnya masa penjajahan sekaligus kemerdekaan Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/02/17273351/jaminan-nyawa-achmad-soebardjo-buat-bebaskan-soekarno-hatta