JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara mendiang anggota Densus 88 Antiteror Polri Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage (IDF), Jajang mengatakan, komunikasi terakhir antara korban dengan seniornya yang terungkap, saat gelar perkara kasus kematian Bripda IDF.
Gelar perkara ini turut diikuti oleh kuasa hukum dan keluarganya.
Dalam gelar perkara, Bripda IDF masuk ke kamar saksi AN karena dipanggil oleh tersangka yang menembaknya, Bripda IMS.
"Pelaku meminta korban datang dengan kalimat bernada kasar, 'sini kau'. Kemudian korban IDF datang ke kamar tersebut," ujar Jajang saat dimintai konfirmasi, Rabu (2/8/2023).
Menurutnya, senjata api (senpi) sudah disiapkan pelaku di dalam tas. Sehingga, senpi itu tinggal langsung dikeluarkan dari tas dan ditembakkan ke arah Bripda IDF.
Jajang mengatakan, dengan kejadian tersebut, pihaknya meyakini adanya perencanaan pembunuhan kepada Bripda IDF, bukan kelalaian.
"Kalau ada yang menyimpulkan karena faktor kelalaian, berarti mereka sudah ada niat menutup-nutupi perkara pembunuhan ini," menurutnya.
Jajang menekankan bahwa mereka akan tetap pada pendirian yaitu ada dugaan kuat unsur kesengajaan dan perencanaan dalam kematian Bripda IDF.
Dia lantas mempertanyakan letak unsur kelalaian jika pelaku memang menembakkan senpi ke arah Bripda IDF.
"Kok masih saja bersikukuh menyimpulkan kelalaian sih? Sadar enggak mereka itu anggota Densus 88 Antiteror, pasukan elite Polri. Kok lalai terus sih narasinya?" tukas Jajang.
Kemudian, Jajang mengklaim Bripda IDF sudah merasa terintimidasi oleh seniornya sejak awal tahun 2023.
Sementara itu, kata Jajang, pihak penyidik juga tidak membantah adanya dugaan transaksi senpi gelap di lingkungan Polri.
Sebab, senpi yang digunakan pelaku untuk menembak Bripda IDF adalah senpi ilegal dan beredar di lingkungan Polri.
"Dan salah satu tujuan kedatangan pelaku IMS ke flat saksi AN adalah melakukan transaksi senpi tersebut. Itu diakui oleh penyidik," jelasnya.
Jajang mengatakan pihak keluarga kecewa dengan pernyataan polisi yang menyatakan Bripda IDF tewas karena unsur kelalaian.
Dia menyebut orangtua Bripda IDF sampai kesulitan tidur mendengar pernyataan polisi tersebut.
"Klien kami meminta agar pernyataan tersebut dicabut. Klien kami sangat terpukul dan tersudutkan," imbuh Jajang.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti yang juga menghadiri gelar perkara mengatakan keluarga Bripda IDF memang mempertanyakan sejumlah kejanggalan mengenai kematian Bripda IDF saat gelar perkara tertutup di kantor Polres Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (1/8/2023).
Poengky mengatakan, keluarga Bripda IDF bertanya kepada polisi apakah ada unsur perencanaan pembunuhan dalam kematian anak mereka.
"Dalam gelar perkara kemarin, keluarga korban dan para pengacaranya diberikan kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang dianggap sebagai ganjalan, termasuk apakah ada perencanaan pembunuhan, ataukah ada kesengajaan tersangka untuk melakukan pembunuhan," ujar Poengky.
Poengky menjelaskan, pertanyaan dari keluarga Bripda IDF itu bisa dijawab melalui hasil penyidikan yang didukung scientific crime investigation.
Menurutnya, saksi dan tersangka menyatakan tidak ada niat membunuh Bripda IDF, seperti yang dicurigakan oleh pihak keluarga.
"Antara lain tidak ada perencanaan pembunuhan. Karena dari bukti-bukti komunikasi, CCTV, serta keterangan-keterangan para saksi dan keterangan tersangka, ternyata tidak ada niat untuk merencanakan pembunuhan," tuturnya.
Sejauh ini, kata Poengky, Kompolnas melihat penyidikan kasus kematian Bripda IDF sudah berjalan dengan profesional, transparan, dan akuntabel.
Maka dari itu, Kompolnas masih menanti rekonstruksi kematian Bripda IDF yang akan digelar secepatnya.
"Dari hasil rekonstruksi tersebut, kami harapkan kasus akan semakin terang benderang," imbuh Poengky.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/02/15201971/pengacara-ungkap-komunikasi-terakhir-bripda-idf-dengan-seniornya-sebelum