Salin Artikel

Mencermati Putusan MK tentang Sistem Pemilu

Dengan demikian, sistem yang akan digunakan Indonesia dalam Pemilu 2024 adalah tetap, yaitu Sistem Proporsional Terbuka.

Substansi pertimbangan Mahkamah adalah implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilu.

Hakim konstitusi Sadli Isra mengatakan, dalam setiap sistem pemilu terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya.

Selain itu, menurut MK, asas Pasal 1 ayat (2) yang diamanatkan UUD 1945, yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar", adalah lebih dekat pemaknaannya dengan sistem proporsional terbuka daripada sistem proporsional tertutup.

Lagi pula, menurut MK, perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi.

Final dan Binding

Putusan MK bersifat Final dan mengikat. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Frasa “putusannya bersifat final” menegaskan bahwa sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan. Sebab, proses peradilan MK merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir.

Dengan kata lain, setelah mendapat putusan, tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh. Dengan demikian, putusan MK juga tidak dapat dan tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum dan upaya hukum luar biasa, yang oleh karena itu bersifat mengikat.

Berdasarkan hal tersebut, maka pelaksana Pemilu, bisa langsung menyesuaikan peraturan pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka.

Namun demikian, merujuk pada proses penyelenggaraan pemilu tahun 2019 lalu, sistem proporsional terbuka memiliki sejumlah kelemahan, khususnya dalam manajemen pengorganisasian dan teknis pelaksanaan pemilu.

Sebagai catatan, Pemilu terbesar di dunia adalah pemilu di India, dengan daftar pemilih pada Pemilu 2019 di India mencapai 830 juta dari 1,2 miliar penduduk.

Namun karena India adalah negara federal yang mengadopsi bentuk pemerintahan parlementer, pemilu di India hanya pemilu legislatif di tingkat federal dan negara bagian yang diselenggarakan dalam 30 hari.

Akan tetapi, pemilu terbesar di dunia yang diselenggarakan dalam satu hari adalah pemilu Indonesia.

Indonesia mengadopsi susunan negara kesatuan yang menjamin otonomi seluas-luasnya pada provinsi dan kabupaten/kota, sistem perwakilan politik yang “hampir” bikameral, dan bentuk pemerintahan demokrasi presidensial, maka pemilu yang diselenggarakan tak hanya pemilu legislatif, tetapi juga pemilu kepala pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun daerah.

Karena itu, pemilu di Indonesia terdiri atas lima jenis pemilu: pemilu anggota DPR, pemilu perseorangan anggota DPD, pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota yang diselenggarakan dalam satu hari.

Itulah yang disebut pemilu serentak nasional lima kotak suara yang diselenggarakan dalam satu hari.

Bila dibandingkan dengan India, jumlah pemilih terdaftar pemilu Indonesia pada 2019 di DPT sebesar 192,8 juta. Dengan lima kotak suara (Presiden, DPR, DPD, DPRD I, dan DPRD II), dan dilaksanakan hanya dalam waktu 1 hari.

Tidak hanya itu, Pemilu 2019 juga mengajarkan bahwa even ini adalah sistem pengorganisasian orang dan logistik secara massif dan bersifat kolosal.

Sebagai catatan, alat kelengkapan pemungutan dan penghitungan suara di TPS yang menggunakan surat suara mencakup lebih 10 jenis, yaitu surat suara, bilik suara, alat mencoblos surat suara dan bantalannya, kotak suara, tinta pemilu, berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara, map dan amplop, segel, kertas plano, spidol, dan karet.

Setiap dapil memiliki surat suara sendiri. Untuk memilih anggota DPR di 80 dapil perlu 80 macam surat suara. Untuk memilih anggota DPD di 34 dapil perlu 34 macam surat suara.

Untuk memilih anggota DPRD di 34 provinsi di 272 dapil perlu 272 macam surat suara dan untuk anggota DPRD kabupaten/kota di 514 kabupaten/kota di 2.205 dapil perlu 2.205 macam surat suara berbeda.

Untuk menyelenggarakan hajatan pemilu 2019, dibutuhkan panitia ad hoc, yang terdiri dari 7,3 juta lebih anggota KPPS dan petugas keamanan untuk 813.000 TPS, sebanyak 36.260 anggota PPK (7.252 kecamatan), dan 25,146 anggota PPS (83.820 desa/kelurahan).

Dari unsur peserta, ada Partai Politik Peserta Pemilu (P4) yang meliputi: (1) kepengurusan tingkat nasional: 16 DPP, (2) kepengurusan tingkat provinsi: 16 x 34 DPD = 544 DPD /DPW, (3) kepengurusan tingkat kabupaten/kota: 16 x (75 persen dari 514 kabupaten/kota)= 16 x 386 = 6.176 DPD/ DPC.

Calon yang bersaing meliputi: (1) 9.200 calon anggota DPR di 80 dapil (16 P4) x 575 kursi DPR); (2) 136 kursi DPD yang diperebutkan di 34 dapil, (3) dua pasangan capres/cawapres, (4) 35 (paling sedikit) hingga 120 anggota (paling banyak) untuk 34 DPRD provinsi, (5) 20 (paling sedikit) hingga 55 kursi (paling banyak) untuk 514 DPRD kabupaten/kota.

Calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia di Pemilu 2019 mencapai 245.913. Untuk capres/cawapres dua pasang.

Ini belum lagi bila kita menambahkan media, pemantau, peneliti dari lembaga survei, dan peneliti untuk hitung cepat.

Dari sekilas data di atas kita bisa membayangkan, betapa berat beban kerja yang ditanggung oleh penyelenggara pemilu tahun 2019.

Beban kerja yang berat pada pemilu serentak nasional sebagaimana dideskripsikan di atas telah menyebabkan 5.175 orang sakit, 894 orang meninggal dan ratusan ribu yang mengalami kelelahan pada Pemilu 2019.

Angka ini, masih jauh lebih besar dari jumlah korban bencana gempa bumi Cianjur yang terjadi 2022.

Berkaca dari proses penyelenggaraan Pemilu 2019, penting bagi DPR RI, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu melakukan evaluasi dan menyusun dengan lebih seksama manajemen pengorganisasian dan teknis menyelenggaraan pemilu 2024, sehingga tidak melahirkan bencana kemanusiaan sebagaimana yang terjadi pada pemilu 2019.

Meski begitu, jangan lupa, Sistem pemilu adalah seperangkat prosedur untuk mengkonversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara. Di mana target dan tujuan diselenggarakannya Pemilu juga harus bisa dipenuhi.

Oleh sebab itu, penting bagi semua stakeholder yang terlibat dalam proses Pemilu 2024, untuk menjadikan Pemilu 2024 sebagai “wadah kerjasama multi-pihak”, sehingga bisa mengurangi beban penyelenggara Pemilu.

https://nasional.kompas.com/read/2023/06/22/12124871/mencermati-putusan-mk-tentang-sistem-pemilu

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke