Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, bentuk dukungan tersebut disepakati dengan mengirim pandangan hukum atau amicus curiae dalam judicial review yang diajukan ke Mahkamah Agung tersebut.
"Komnas Perempuan menyepakati mengirimkan amicus curiae," kata wanita yang akrab disapa Ami itu saat ditemui di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Selasa (20/6/2023).
"Komnas Perempuan mau memberikan pendapat hukum terkait dengan keputusan KPU ini, itu yang kita lakukan," sambung dia.
Amicus curiae adalah sahabat pengadilan atau friends of court. Bentuk jamak dari amicus curiae adalah amici curiae.
Amicus curiae diartikan sebagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara sehingga memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
Akan tetapi, keterlibatan pihak yang merasa berkepentingan ini hanya sebatas memberikan opini dan bukan melakukan perlawanan ataupun memaksa hakim.
Amicus curiae dapat disebut sebagai sebuah mekanisme. Pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara dapat mengajukan opini hukumnya untuk memperkuat analisa hukum dan menjadi bahan pertimbangan hakim.
Sebelumnya diberitakan, para aktivis gender dan kepemiluan khawatir dengan penerapan pembulatan ke bawah oleh KPU, dalam menghitung 30 persen keterwakilan bacaleg perempuan.
Pembulatan ke bawah ini termuat dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, di mana jika hasil perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima, maka diberlakukannya pembulatan ke bawah itu.
Misalnya, jika di suatu dapil terdapat 8 alokasi kursi, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya sama dengan 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah.
Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menghitung bahwa ada sedikitnya 38 dapil atau sekitar 45 persen dari total dapil DPR RI yang bakal mengalami hal ini.
Diperkirakan, pileg DPR RI dengan peraturan baru ini bakal melenyapkan peluang sedikitnya 684 perempuan untuk masuk Senayan. Ini baru di tingkat nasional, belum provinsi dan kabupaten/kota.
Tak heran, aturan yang ada sekarang dinilai kontraproduktif dengan segala capaian yang berhasil diraih agar penyelenggaraan pemilu lebih berperspektif gender.
Jumlah caleg perempuan, misalnya, sejak pemilu secara langsung digelar pada 2004, selalu menunjukkan tren kenaikan, berdasarkan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).
Pada 2004, capaian persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29 persen.
Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014. Terakhir, 2019, proporsi itu semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.
Pemilu 2004 hingga 2019 belum berhasil mengirim 30 persen perempuan ke parlemen, melainkan hanya 11,8 persen (2004), 18 persen (2009), 17 persen (2014), dan 20 persen (2019).
Hal ini ironis sebab jumlah pemilih perempuan sejak Pemilu 2004 tak pernah kurang dari 49 persen.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/20/20292611/komnas-perempuan-ajukan-amicus-curiae-untuk-dukung-judicial-review-pkpu