Pasal tersebut dianggap bermasalah oleh beberapa organisasi kesehatan. Mereka menilai pasal akan membuat dokter takut berpraktek.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengatakan, pasal-pasal terkait hukum yang dikhawatirkan para dokter dan tenaga kesehatan sudah ada di undang-undang yang berlaku saat ini.
Meski sudah berlaku selama hampir 20 tahun, tidak ada organisasi profesi dan individu yang bersuara dan berinisiatif untuk memperbaikinya.
Menurut Syahril, menolak RUU justru mengembalikan pasal-pasal hukum seperti dulu.
"Menolak RUU akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada seperti dulu. Yang sudah terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan nakes,” kata Syahril dalam siaran pers, Jumat (12/5/2023).
"Jadi, kalau memang kekhawatirannya masalah pelindungan hukum, kenapa tidak dari dulu, sih, organisasi profesi bergerak dan berinisiatif untuk mengubah?” tambah Syahril.
Adapun aturan yang dimaksud Syahril adalah UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004.
Pasal 66 ayat (1) beleid menyebutkan, setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Lebih lanjut, ayat (3) menyatakan bahwa pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Syahril beranggapan, penolakan terhadap RUU Kesehatan yang tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah justru berpotensi menghambat kebutuhan terhadap pelindungan hukum yang lebih jelas dan kuat untuk dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan.
Pasal-pasal tersebut pun masih dalam pembahasan DPR dan pemerintah untuk dapat diperbaiki.
“DPR justru memulai inisiatif untuk memperbaiki undang-undang yang ada sehingga pasal-pasal terkait pelindungan hukum ini menjadi lebih baik. Pemerintah pun mendukung upaya ini," tutur dia.
Pasal tersebut mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan, pelindungan untuk peserta didik, dan proteksi tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam keadaan darurat.
Terkait penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dia menjelaskan, RUU Kesehatan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perselisihan. Ini tertuang dalam pasal 322 ayat 4 DIM pemerintah Anti-perundungan (anti-bullying).
Tenaga medis dan tenaga kesehatan (nakes) dapat menghentikan pelayanan kesehatan bila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan dan perundungan. Hal ini tertuang dalam pasal 282 ayat DIM pemerintah.
Terkait pelindungan untuk peserta didik, RUU ini menjamin hak peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan atas bantuan hukum, dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan. Poin ini tertuang dalam pasal 208E ayat 1 huruf a DIM pemerintah.
Sementara terkait proteksi tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam keadaan darurat, tenaga medis dan tenaga kesehatan yang melaksanakan upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah, berhak atas pelindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugas. Poin ini ada dalam pasal 408 ayat 1 DIM pemerintah.
"Meminta proses pembahasan RUU Kesehatan untuk distop bukanlah solusi. Apabila kepentingan utama organisasi profesi adalah pelindungan hukum, justru sekarang inilah saat yang tepat untuk melakukan perbaikan,” tandas Syahril.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/12/21375171/ribut-ribut-dokter-bisa-digugat-di-ruu-kesehatan-kemenkes-kenapa-tak-dari