Salin Artikel

Dasar Hukum Larangan Pegawai Pajak Aktif Merangkap Jadi Konsultan

JAKARTA, KOMPAS.com - Dugaan penyimpangan di kalangan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali disorot setelah mantan pejabat pajak, Rafael Alun Trisambodo, diduga mempunyai harta kekayaan dalam jumlah yang tidak wajar.

Di sisi lain, kasus kekayaan tidak wajar Rafael Alun juga kembali mengingatkan soal dugaan penyimpangan di kalangan pegawai pajak yang masih aktif dan merangkap menjadi konsultan.

Kekayaan tak wajar Rafael saat ini menjadi salah satu yang diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK juga menyebut pegawai pajak yang masih aktif dilarang merangkap menjadi konsultan.

“Kalau masih aktif, itu jelas enggak boleh,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan dalam keterangannya, Kamis (9/3/2023).

Di sisi lain, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein juga mengungkap praktik pegawai pajak yang merangkap menjadi konsultan.

"Dulu zaman pak Fuad Rahmany (Dirjen Pajak 2011-2024) mengeluh, 'ini mereka banyak yang menjadi dukun,' katanya," kata Yunus dalam program Ni Luh di Kompas TV, seperti dikutip pada Kamis (9/3/2023).

"Dukun dipelihara oleh wajib pajak sebenarnya. Jadi dia jadi konsultan. Bisa juga dia kasih tax planning, bisa juga dia kasih kemudahan-kemudahan untuk perpajakan," lanjut Yunus.

kinerja Direktorat Jenderal Pajak menjadi sorotan setelah mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo diduga mempunyai jumlah kekayaan tak wajar.

Harta tak wajar Rafael terkuak setelah putranya, Mario Dandy Satrio (20), menganiaya D (17) yang merupakan anak pengurus GP Ansor.

Rafael yang merupakan pejabat eselon III di Ditjen Pajak tercatat memiliki harta kekayaan mencapai Rp 56 miliar di dalam LHKPN.

Sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga telah memblokir puluhan rekening Rafael dan keluarga dengan transaksi senilai Rp 500 miliar.

Rekening yang diblokir ini terdiri dari rekening pribadi Rafael, keluarga termasuk putranya Mario Dandy Satrio dan perusahaan atau badan hukum, serta konsultan pajak yang diduga terkait dengan Rafael.

PPATK sebelumnya menyatakan sudah menemukan indikasi transaksi mencurigakan Rafael sejak 2003 karena tidak sesuai profil dan menggunakan nominee atau kuasa.

PPATK juga mendapat informasi dari masyarakat mengenai konsultan pajak terkait Rafael melarikan diri ke luar negeri. Konsultan pajak Rafael itu disebutkan pernah bertugas menjadi pemeriksa di Ditjen Pajak.

Diduga ada dua orang mantan pegawai Ditjen Pajak yang bekerja pada konsultan tersebut. KPK pun sudah mengantongi dua nama orang itu.

Adapun KPK sudah memutuskan membuka penyelidikan dugaan tindak pidana terkait harta kekayaan Rafael. Dalam proses ini, KPK akan mencari bukti permulaan dugaan tindak pidana korupsi.

Di sisi lain, Kementerian Keuangan memutuskan memecat Rafael setelah melakukan audit. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun dilaporkan menyetujui pemecatan Rafael.

Sri Mulyani bahkan membubarkan klub pengendara motor pegawai Ditjen Pajak, Belasting Rijder, sebagai dampak dari kasus Rafael.

Aturan itu disahkan pada 23 Juli 2007 oleh Darmin Nasution yang saat itu menjabat sebagai Diretur Jenderal Pajak.

Dalam Pasal 4 Kode Etik Pegawai Ditjen Pajak disebutkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi pegawai DJP. Larangan itu adalah:

  • bersikap diskriminatif dalam melaksanakan tugas;
  • menjadi anggota atau simpatisan aktif partai politik;
  • menyalahgunakan kewenangan jabatan baik langsung maupun tidak langsung;
  • menyalahgunakan fasilitas kantor;
  • menerima segala pemberian dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung, dari Wajib Pajak, sesama Pegawai, atau pihak lain, yang menyebabkan Pegawai yang menerima, patut diduga memiliki kewajiban yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya;
  • menyalahgunakan data dan atau informasi perpajakan;
  • melakukan perbuatan yang patut diduga dapat mengakibatkan gangguan, kerusakan dan atau perubahan data pada sistem informasi milik Direktorat Jenderal Pajak;
  • melakukan perbuatan tidak terpuji yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan dapat merusak citra serta martabat Direktorat Jenderal Pajak.

Pada 2014, Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 111/PMK.03/2014 Tentang Konsultan Pajak.

Dalam aturan yang disahkan pada 9 Juni 2014 itu memuat persyaratan dan sanksi bagi konsultan pajak.

Pasal 2 Ayat (2) PMK tentang Konsultan Pajak turut mengatur tentang persyaratan konsultan pajak.

Dalam pasal itu disebutkan, pegawai pajak yang pensiun dini untuk menjadi konsultan pajak harus memenuhi 2 persyaratan, yaitu:

  1. diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atas permintaan sendiri; dan
  2. telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal surat keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Sedangkan pada Pasal 2 Ayat (3) mengatur syarat pegawai pajak yang setelah pensiun memutuskan akan menjadi konsultan pajak, yaitu:

  1. mengabdikan diri sekurang-kurangnya untuk masa 20 tahun di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. selama mengabdikan diri di Direktorat Jenderal Pajak tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian;
  3. mengakhiri masa baktinya di lingkungan kantor Direktorat Jenderal Pajak dengan memperoleh hak pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil; dan
  4. telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal surat keputusan pensiun.

Menurut PMK itu, konsultan pajak wajib mengantongi izin praktik tingkat A, B, dan C.

Para mantan pegawai pajak yang pensiun dini atau setelah pensiun memutuskan menjadi konsultan juga wajib menjalani sertifikasi.

(Penulis : Syakirun Ni'am | Editor : Dani Prabowo)

https://nasional.kompas.com/read/2023/03/09/14073171/dasar-hukum-larangan-pegawai-pajak-aktif-merangkap-jadi-konsultan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke