Sebelumnya, putusan ini berangkat dari gugatan perdata nomor register 757/Pdt.G/2022 yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) terhadap jajaran KPU.
PRIMA merasa dirugikan oleh KPU karena dinyatakan tidak memenuhi syarat verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024, sehingga tak bisa ambil bagian dalam Pemilu 2024.
"Di luar KPU akan menyelesaikan persoalan hukum terkait hal di atas, maka seyogianya pemerintah pun harus turun tangan memastikan bahwa semua agenda yang diindikasikan untuk menunda pemilu tidak akan terjadi," kata Aditya dalam keterangan tertulis pada Jumat (3/3/2023).
Menurut dia, pemerintah harus memastikan bahwa segala manuver untuk menunda pemilu tidak memperoleh dukungan dalam bentuk apa pun.
"Ini harus dinyatakan sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam mendukung penyelenggaraan pemilu nanti," ia menambahkan.
Perkiraan ini berdasarkan hasil survei nasional lembaga Algoritma pada Desember 2022, lembaga di mana Aditya tercatat sebagai direktur eksekutifnya.
"Survei Nasional Algoritma di bulan Desember 2022 menyatakan bahwa lebih dari tiga perempat masyarakat menolak penundaan pemilu," kata Aditya.
"Dan 66 persen tidak setuju perpanjangan masa jabatan presiden," tambahnya.
Dengan data ini, maka ia mengaku tidak heran bila PN Jakpus menjadi bulan-bulanan karena telah memicu kemarahan dan kekecewaan publik.
Apalagi, PN Jakpus dinilai telah bertindak melampaui kewenangannya dengan memutuskan penundaan pemilu.
"Isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden adalah isu politik yang sensitif di mata publik saat ini," ucap Aditya.
Sejauh ini, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, sudah mengeluarkan pernyataan. Ia menilai PN Jakpus bertindak terlalu jauh.
"PN Jakpus membuat sensasi berlebihan," kata eks Ketua Mahkamah Konstitusi itu dalam keterangannya, Kamis (2/3/2023) petang.
Ia beranggapan, vonis PN Jakpus salah dan mudah dipatahkan karena, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu diatur tersendiri dalam UU Pemilu.
Ia menyoroti, bukan kompetensi pengadilan negeri menangani sengketa pemilu.
“Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi, yang memutus harus Bawaslu, tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN,” ujar Mahfud.
“Adapun apabila terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya,” ujar Mahfud lagi.
Mahfud bahkan mengajak KPU banding habis-habisan atas putusan ini.
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/03/22101181/akademisi-ui-minta-pemerintah-bergerak-pastikan-agenda-penundaan-pemilu-tak