JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti ASA Indonesia Institute Reza Indragiri Amriel menilai Polri harus melihat terdakwa kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Richard Eliezer (Bharada E), sebagai aset jika memang berniat buat mempertahankan kariernya sebagai polisi.
Sebab menurut Reza, Richard sudah memperlihatkan sikap memegang teguh kebenaran dan tidak takut berhadapan dengan mantan atasannya, Ferdy Sambo, yang merupakan eks jenderal bintang dua dan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.
"Dengan mentalitas seperti itu, Eliezer layak dipandang sebagai aset. Bukan sebagai musuh," kata Reza dalam keterangannya seperti dikutip pada Senin (20/2/2023).
Reza justru mempertanyakan kesiapan Polri jika memang berniat mempertahankan karier Richard sebagai polisi.
Menurut Reza, keputusan majelis hakim yang menetapkan Richard sebagai saksi pelaku (justice collaborator) memperlihatkan hukum Indonesia mengakui dia adalah pribadi tunduk terhadap kebenaran.
"Eliezer sudah tunjukkan betapa ketaatan pada kebenaran lebih tinggi daripada kepatuhan yang menyimpang," ucap Reza.
Menurut Reza, dengan mengungkapkan fakta sebenarnya di balik kasus itu, Richard memperlihatkan sikap lebih menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran sebagai seorang polisi.
"Sebagai justice collaborator, yang sebangun dengan whistleblower, Eliezer sudah tunjukkan betapa ketaatan pada kebenaran lebih tinggi daripada kepatuhan yang menyimpang," ucap Reza.
Reza mengatakan, jika Polri ingin mempertahankan Richard maka mereka harus memastikan mempunyai program pembinaan profesi dan karakteristik yang baik supaya dia tidak kembali mengulangi kesalahan.
Meskipun diakui sebagai saksi pelaku, Richard tetap dinyatakan bersalah dalam kasus kejahatan tergolong berat.
Polri, kata Reza, juga harus memastikan lingkungan mereka tidak membuat Richard merasa terpojok atau bahkan terancam dengan pihak-pihak yang tidak senang dengan vonis ringan yang dia terima dalam kasus itu jika dia kembali aktif sebagai polisi.
Sebelumnya, Ferdy Sambo yang merupakan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri divonis mati dalam kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), oleh majelis hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (13/2/2023).
Sedangkan Putri Candrawathi divonis 20 tahun penjara pada hari yang sama dengan suaminya.
Kemudian Kuat Ma'ruf yang merupakan asisten rumah tangga dijatuhi vonis 15 tahun penjara dalam sidang pada Selasa (14/2/2023).
Lalu salah satu ajudan Sambo, Ricky Rizal Wibowo (Bripka RR), divonis 13 tahun penjara pada hari yang sama dengan Kuat.
Dalam perkara itu hanya Richard Eliezer (Bharada E) yang mendapatkan vonis lebih ringan dari tuntutan.
Dalam persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Ferdy Sambo dengan pidana penjara seumur hidup.
Sedangkan Putri, Ricky, dan Kuat dituntut dengan pidana 8 tahun penjara.
Ferdy Sambo, Putri, Ricky Rizal dan Kuat melalui kuasa hukum masing-masing menyatakan tidak menerima vonis dan akan mengajukan upaya hukum lanjutan yaitu banding ke pengadilan tinggi.
Sedangkan Kejaksaan Agung menyatakan tidak mengajukan banding terhadap vonis Richard.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Richard terbukti turut serta dalam pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).
Akan tetapi, majelis hakim juga mempertimbangkan suara dari masyarakat dan para akademisi yang mengajukan surat sahabat pengadilan (amicus curiae).
Selain itu, majelis hakim dalam vonis menetapkan Richard sebagai saksi pelaku atau justice collaborator (JC), karena dia bukan pelaku utama dan berperan mengungkapkan fakta sebenarnya.
Di sisi lain, Richard dan Ricky juga akan menjalani sidang di Komisi Kode Etik Polri (KKEP) mengenai status karier mereka sebagai polisi setelah divonis.
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/20/21450971/polri-dinilai-harus-hargai-richard-eliezer-sebagai-aset