Salin Artikel

Banjir Kritik Usulan Cak Imin Hapus Jabatan Gubernur, Jangan Aneh-aneh di Tahun Politik

Menghapus jabatan gubernur tak semudah menggulirkan wacana. Konsekuensinya, akan ada banyak kewenangan dan tentunya peraturan yang harus dirombak total. Bahkan, sampai harus mengamandemen UUD 1945.

Awalnya, Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin, menggulirkan wacana itu karena melihat anggaran gubernur yang terlalu besar. Padahal, tugasnya hanya bersifat koordinasi pusat dengan pemerintah kabupaten dan kota.

"Pada dasarnya fungsi itu terlampau tidak efektif, anggarannya besar tapi tidak langsung, tidak mempercepat," kata Muhaimin saat ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (30/1/2023).

Cak Imin mengatakan, pihaknya sedang mematangkan wacana tersebut dengan para ahli.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini menuturkan, sebelum menghapus jabatan gubernur, PKB lebih dulu mengusulkan agar pemilihan gubernur secara langsung ditiadakan.

Cak Imin berpendapat, pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung semestinya cukup pada pemilihan bupati dan wali kota saja.

"Jadi pilkada tidak ada di gubernur, hanya di kabupaten kota. Tahap kedua, ya ditiadakan institusi jabatan gubernur," ujar dia.

Kritik dari DPR

Usulan Cak Imin itu menuai pro dan kontra. 

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus tak setuju akan usulan itu.

Guspardi mengatakan, jabatan gubernur bukan hanya sebagai kepala daerah yang menjalankan otonomi di tingkat provinsi saja, melainkan juga sebagai wakil pemerintah pusat di suatu provinsi.

"Apalagi jabatan gubernur merupakan amanah yang sudah tercantum dalam konstitusi negara. Ditambah lagi di negara luar, tidak ada provinsi yang tidak memiliki seorang gubernur. Jadi, referensi Cak Imin itu dari mana?" ujar Guspardi dalam keterangannya, Rabu (1/2/2023).

Dia menyoroti alasan Cak Imin yang mengatakan bahwa jabatan gubernur tidak efektif dan mahalnya pemilihan gubernur secara langsung.

"Sebetulnya itu tidak relevan. Semestinya dicarikan solusi terbaik dan dilakukan exercise agar jabatan gubernur itu menjadi efektif. Tentu perlu kajian yang mendalam tentang sistem dan mekanisme pemilihan gubernur dengan mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya. Bukan malah menghilangkan jabatan gubernur," tuturnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron mempertanyakan usul Cak Imin tersebut.

Dia bingung siapa yang akan memimpin provinsi ke depannya jika jabatan gubernur dihapus.

"Kalau gubernur dihapus, siapa yang akan memimpin provinsi? Apakah provinsinya dihapus?" ujar Herman saat dimintai konfirmasi, Rabu.

Herman menjelaskan, keberadaan gubernur masih dibutuhkan karena mereka bertugas membantu Presiden.

Sebab, gubernur memiliki tanggung jawab untuk mengkoordinasikan kabupaten/kota di setiap provinsi, baik dalam fungsi pembangunan maupun administratif.

"Mungkin sistem pemilihan gubernurnya yang perlu dievaluasi. Misal, apakah masih dengan pemilukada langsung, atau pemilihan oleh DPRD, atau penunjukan oleh Presiden, ini bisa didiskusikan," imbuhnya.

Amandemen UUD 1945 belum saatnya

Usulan Cak Imin juga mendapatkan tanggapan para pakar, baik kepemiluan hingga tata negara.

Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai, usulan Cak Imin soal peghapusan pemilihan calon gubernur dan jabatan gubernur sulit untuk diwujudkan.

Menurutnya, jabatan gubernur diatur oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga, untuk mewujudkan usulan tersebut, konstitusi harus diubah.

"Sedangkan amendemen konstitusi di tengah situasi saat ini hanya akan membuka kotak pandora bagi munculnya isu-isu kontroversial lainnya. Bukan suatu pilihan yang momentumnya tepat," kata Titi kepada Kompas.com, Rabu.

Titi mengatakan, kalau yang dipersoalkan Cak Imin adalah soal efektivitas kewenangan gubernur, hal itu sejatinya berada pada ranah pengaturan di tingkat undang-undang.

Jika kewenangan gubernur dirasa belum efektif, bisa dilakukan penyesuaian pada level undang-undang untuk menyelaraskannya.

Sementara itu, Pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan curiga Cak Imin sebenarnya tidak paham dengan kewenangan gubernur.

"Cak Imin mungkin belum paham atau enggak baca undang-undang (UU)," ujar Djohan saat dihubungi, Rabu.

Djohan mengatakan, ketika sudah memasuki tahun politik, lebih baik untuk tidak membuat kebijakan yang aneh-aneh.

Ia mengingatkan bahwa jabatan gubernur sudah ada sejak dulu.

Indonesia memiliki daerah besar dan daerah kecil. Oleh karena itu perlu memiliki perwakilan di masing-masing daerah.

Di sisi lain, di masing-masing kabupaten, kota, dan provinsi ada juga dewan yang ditempatkan untuk menciptakan adanya demokrasi.

"Jadi, tentu itu enggak boleh kita abaikan apa yang sudah dipikirkan founding fathers," kata Djohan.

Ia mengungkapkan, dengan asas otonomi, kabupaten/kota dan provinsi bisa mengurus urusannya masing-masing.

Oleh karena itu, dipilihlah gubernur, wali kota, hingga bupati di daerah masing-masing secara demokratis untuk mengurus daerahnya masing-masing.

Respons Gubernur

Salah satu Gubernur, yaitu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X angkat bicara soal usul Cak Imin tersebut.

Sultan menyerahkannya kepada Pemerintah Pusat.

Dia berpandangan bahwa urusan jabatan publik gubernur adalah ranah kewenangan pemerintah pusat dan bukan Muhaimin

"Terserah pemerintah pusat bukan Cak Imin. Terserah pemerintah pusat aja. Terserah undang-undang. Bunyi undang-undang Keistimewaan," kata Sultan saat ditemui di Kompleks Kepatihan, Kota Yogyakarta, Selasa (31/1/2023).

Menurut Sultan apa yang dikatakan oleh Cak Imin adalah hal yang wajar. Sebagai seorang politisi, Cak Imin diperbolehkan untuk melempar usul apa pun.

"Silakan saja. Wong ya namanya politisi boleh usul apa pun boleh," ucap dia.

"Saya enggak bisa punya komentar. Nanti malah jadi masalah. Saya tidak mau terpancing hal-hal seperti itu," pungkas Sultan.

https://nasional.kompas.com/read/2023/02/02/08302401/banjir-kritik-usulan-cak-imin-hapus-jabatan-gubernur-jangan-aneh-aneh-di

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke