Diketahui di tahun 2022, nilai manfaat yang didistribusikan BPKH untuk jemaah haji yang berangkat mencapai 59 persen, sedangkan Bipih atau biaya perjalanan haji yang ditanggung jemaah sebesar Rp 39,8 juta atau 41 persen.
Di tahun ini berdasarkan usulan Kemenag, porsi nilai manfaat diturunkan menjadi 30 persen sebesar Rp 29.700.175 dari total Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Rp 98.893.909.
Sementara, Bipih yang dibebankan kepada jemaah untuk tahun ini mencapai Rp 69.193.733 atau naik Rp 30 juta per jemaah dari Rp 39,8 juta di tahun 2022. Jumlah biaya yang dibebankan kepada calon jemaah itu mencapai 70 persen dari total BPIH.
"Kalau itu kita distribusikan untuk orang yang berangkat tiap tahun, itu akan habis, sampai sebelum 2027 sudah habis. Artinya akan menggerus pokok dana kelolaan semua setoran awal calon jemaah haji yang belum berangkat. Apakah itu yang kita inginkan?" kata Fadlul dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Selasa (24/1/2023).
Fadlul menuturkan, nilai manfaat yang diturunkan menjadi 30 persen dari total BPIH tahun 2023 sudah sangat masuk akal dan sudah pas. Artinya, nilai manfaat yang disalurkan BPKH hanya mencapai Rp 30 juta per jemaah haji di tahun ini.
Sedangkan jika mengikuti skema nilai manfaat di tahun 2022, maka nilai manfaat yang dikeluarkan badan tersebut naik dua kali lipat, yaitu Rp 60 juta per jemaah haji.
"Artinya apa yang disampaikan Kemenag sangat masuk akal sekali dan sudah memperhitungkan segala macam risiko. Dan utamanya bukan risiko secara sosial, tapi risikonya justru yang disebut sebagai mitigasi risiko," ucap Fadlul.
Sejatinya kata Fadlul, BPKH memiliki uang untuk menambal kekurangan dana Rp 30 juta/jemaah, sehingga nilai manfaat yang didistribusikan tetap Rp 60 juta/jemaah.
Namun, tambahan dana Rp 30 juta itu akan diserap dari dana setoran awal jemaah haji tunggu, bukan jemaah haji yang berangkat.
Lagipula jika dibiarkan terus-menerus dan berjalan tiap tahun, Fadlul khawatir akan menggerus pokok dana kelolaan haji.
"Problem berikutnya kalau ditanya BPKH ada uang, enggak? Ada. Masalahnya uangnya ini bukan uang atau dana dari calon jemaah haji yang berangkat pada tahun berjalan," tutur Fadlul.
Lebih lanjut, Fadlul mengaku kasihan jika dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk jemaah haji tunggu harus digunakan untuk jemaah haji tahun berjalan.
Ia merasa hal ini tidak adil bagi jemaah haji tunggu. Oleh karena itu, Kemenag membuat usulan agar 70 persen BPIH ditanggung jemaah, dan 30 persen lainnya berasal dari nilai manfaat BPKH.
"Kalau sampai mengambil manfaat yang dimiliki oleh orang-orang yang akan berangkat, kasihan. Artinya nanti malah jadi enggak sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu, Kemenag mengusulkan supaya 70:30. Angka itu sebenarnya sudah pas," ucap Fadlul.
Kembalikan persentase awal
Fadlul juga menyatakan, kenaikan Bipih sebesar Rp 30 juta sebenarnya mengembalikan persentase awal nilai manfaat yang diberikan BPKH setiap tahun.
Hanya saja, Bipih terkesan naik 2 kali lipat di tahun ini. Hal ini disebabkan oleh naiknya biaya Masyair, yakni kegiatan haji di Arafah, Mina, dan Muzdalifah secara mendadak sejak tahun lalu.
Kenaikannya cukup signifikan, yaitu mencapai Rp 22,6 juta/jemaah dari sekitar Rp 6 juta, sehingga total biaya haji per jamaah naik menjadi hampir Rp 99 juta.
Kenaikan biaya ini diumumkan Arab Saudi sekitar seminggu sebelum kloter pertama jamaah haji Indonesia terbang.
Oleh karena itu, nilai manfaat yang diberikan BPKH melonjak menjadi 59 persen, karena tidak ada lagi kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian biaya haji yang harus ditanggung oleh jamaah.
"Jadi bukan menaikkan, justru mengembalikan persentasenya ke persentase awal. Bahwa kemudian angkanya bisa sampai 2 kali lipat, itu karena naiknya biaya yang tadi (masyair)," sebut dia.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/24/18052931/bpkh-jika-biaya-haji-tak-naik-dana-manfaat-bakal-habis-sebelum-2027