Salin Artikel

Kerusuhan di PT. GNI Lampu Kuning bagi Pemerintah

JADI, saat pekerja menuntut perlakuan dan apresiasi yang sepadan kepada perusahaan atas jerih payah dan dedikasi mereka, maka sebaiknya perusahaan dan negara harus segera menggubrisnya dengan baik.

Apapun kesepakatan yang didapat, di mana sebaiknya kesepakatan tersebut harusnya memenuhi standar minimal atas kesepakatan-kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja di waktu-waktu sebelumnya, harus didapat dengan proses yang saling menghormati posisi dan kapasitas masing-masing.

Pemberi kerja tidak bisa semena-mena di satu sisi karena merasa telah memberi pekerjaan kepada para pekerja, pun tidak bisa "cuek bebek" santai seperti di pantai di sisi lain karena merasa bahwa buruh tidak punya kekuatan politik untuk memaksakan tuntutan mereka.

Kedua pihak harus duduk secara setara atas nama kepentingan bersama, baik kepentingan perusahaan, kepentingan pekerja, maupun kepentingan negara.

Jika salah satu pihak memandang pihak lainnya tidak setara, layak diacuhkan, atau dipandang sebelah mata, maka ujungnya biasanya tidak baik.

Dan jika skalanya besar, katakanlah dalam skala nasional, maka ujungnya biasanya revolusi, seperti Revolusi Perancis atau Revolusi Rusia.

Logika-logika ini harus benar-benar kita pahami bersama. Apa yang terjadi di PT. Gunbuster Nickel Industri atau PT GNI di Morowali Utara, pada Sabtu (14/1), adalah salah satu bentuk penegasian atas logika-logika bijak di atas, yang akhirnya berujung kerusuhan, kerusakan alat kerja perusahaan bahkan memakan korban jiwa.

Pertama, secara teknis, ada sumbatan yang membuat komunikasi kedua belah pihak, yaitu manajemen perusahaan dan pekerja tidak terjadi sebagaimana mestinya.

Sumbatan tersebut adalah bahwa pihak perusahaan tidak menganggap serikat buruh di perusahaannya sebagai entitas yang "legitimate" di satu sisi dan "legal" di sisi lain.

Boleh jadi dalam konteks relasi pekerja dan pemberi kerja diperlukan adanya "pengakuan" kepada serikat buruh. Jika pun serikat buruh di suatu perusahaan belum memiliki legitimasi organisasional, tidak berarti anggotanya bisa dinegasikan hak dan keberadaannya.

Setiap pekerja berhak mendapatkan perlakuan dan pelayanan ketenagakerjaan dari pihak pemberi pekerjaan sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang berlaku.

Bahkan sebelum terjadinya ledakan pada alat produksi perusahaan yang mengakibatkan tewasnya pekerja PT GNI bulan Desember 2022 lalu, semua tenaga kerja PT. GNI berhak menerima aturan main kerja yang sesuai dengan standar keselamatan kerja yang ada.

Jadi sangat bisa diterima jika kemudian para pekerja menuntut agar perusahaan memenuhi tuntutan atas sarana keselamatan kerja itu.

Namun dari berbagai sumber pemberitaan yang ada, justru pihak perusahaan gagal memberikan komitmen untuk memenuhi standar keselamatan kerja tersebut.

Dengan lain perkataan, bahkan hak yang seharusnya didapatkan pekerja, walaupun terlambat dituntut, justru tidak digubris dengan serius oleh perusahaan alias perusahaan gagal meyakinkan para pekerja bahwa perusahaan memang memiliki komitmen untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Walhasil, tuntutan berubah menjadi gerakan, yang kemudian "out of control" dan "chaos" alias menjadi rusuh.

Hal tersebut diperparah dengan keberadaan tenaga kerja asing (TKA) di perusahaan yang sama, yang dikabarkan tidak satu barisan dengan kelompok pekerja dari dalam negeri dalam menyuarakan aspirasinya.

Bahkan dari berbagai pemberitaan dikabarkan bahwa TKA berada satu barisan dengan manajemen perusahaan.

Konfigurasi relasi konflik menjadi semakin lebar karena ketegangan tidak saja terjadi antara pekerja dan pihak manajemen perusahaan, tapi di tataran teknis juga antara pekerja lokal dan tenaga kerja asing yang ada di PT. GNI.

Keberadaan dan eksistensi TKA ini sangat perlu menjadi perhatian khusus pemerintah pusat, karena besarnya porsi TKA di kawasan industri, yang secara statistik sulit didapatkan data pastinya, berpotensi menjadi sumber bencana sosial baru di Sulawesi maupun wilayah lain di Indonesia.

Kedua, secara fundamental, potensi konflik semacam itu tersimpan hampir di semua perusahaan penambang nikel yang memperkerjakan TKA di Morowali khususnya dan Sulawesi pada umumnya.

Keputusan strategis pemerintah untuk mengakselerasi komersialisasi komoditas nikel di Sulawesi terlalu mengutamakan motif ekonomi, sehingga hal-hal teknis tapi krusial di lapangan cenderung terabaikan.

Relasi tenaga kerja lokal dan TKA, relasi bisnis dan masyarakat setempat, relasi bisnis dan lingkungan, dan relasi bisnis dan pemerintah, semuanya terkesan abu-abu, karena pemerintah lebih memrioritaskan komersialisasi komoditas nikel dengan mendorong akselerasi investasi pertambangan dan pengolahan nikel di kawasan Sulawesi untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional yang sudah mulai terlihat stagnan sejak awal masa pemerintahan Jokowi.

Soal relasi yang kurang sinkron antara tenaga kerja lokal dan TKA, misalnya. Selama ini tidak jelas aturan main soal TKA di Morowali. Pemerintah berargumen bahwa aturan ketenagakerjaan di Morowali juga mengacu kepada UU Tenaga Kerja Nasional.

Namun di lapangan, perusahaan-perusahaan tambang nikel justru menggunakan model kontrak subkontraktor kepada perusahaan lain, yang umumnya berasal dari China, untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

Tidak heran kemudian pekerjaan-pekerjaan kasar sekalipun di dalam kawasan perusahaan dikerjakan oleh TKA.

Jadi sangat tidak aneh saat saya membaca berita bahwa ternyata lebih dari 1000 TKA di PT. GNI (dari pemberitaan jumlahnya 1600).

Jumlah tersebut tentu sangat berpotensi dijadikan pagar betis oleh perusahaan untuk melakukan "pukulan balik" kepada gerakan pekerja di satu sisi dan menjadikan TKA sebagai pagar betis kepentingan perusahaan di sisi lain.

Memang, ada "deal" soal TKA yang tidak bisa dielakkan oleh pemerintah. Konsesi soal TKA, terutama dengan China, harus diberikan karena pemerintah sangat membutuhkan investasi baru dari China untuk menambang dan mengolah komoditas nikel di sana dan sekaligus untuk mengembangkan kawasan industri yang berkelas dunia.

Konsesi semacam itu juga berlaku di negara-negara yang menikmati investasi dari China. Karena itulah pemerintah semestinya tidak bisa mengabaikan relasi tenaga kerja lokal dan TKA.

Aturannya harus dibuat sangat jelas dan ketat, agar relasi yang menyimpan "bom waktu" semacam itu bisa dikelola dengan baik.

Relasi masifikasi komersialisasi komoditas nikel di Sulawesi dengan kewajiban pemerintah dan pengusaha untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan juga masih abu-abu.

Pemerintah boleh saja berlindung dari data-data dan indikator konvensional yang menyatakan bahwa program besar hilirisasi komoditas nikel di Sulawesi telah memenuhi standar minimal industri pengolahan dan pertambangan.

Namun nyatanya di lapangan, kerusakan lingkungan sudah melebih batas normal. Jadi sangat tidak mengherankan jika bencana alam yang disebabkan oleh pembukaan dan pengembangan lahan atas nama pertambangan dan pengolahan komoditas nikel kerap terjadi di Sulawesi.

Bencana-bencana yang terjadi sudah melebihi frekuensi bencana di waktu normal. Artinya bahwa memang telah terjadi eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan dan tanpa kontrol di kawasan-kawasan industri di Sulawesi.

Karena itu, relasi hilirisasi masif dan misi penjagaan kelestarian lingkungan di sana juga harus diluruskan kembali.

Jangan sampai kerakusan yang berlebihan atas komoditas nikel justru harus dibayar dengan harga yang jauh lebih mahal kemudian hari dengan bencana-bencana yang jauh lebih besar lagi.

Masalah utamanya adalah bahwa penanggung beban dari bencana-bencana tersebut bukanlah perusahaan dan pemerintah, tapi masyarakat yang terkadang tidak ada kaitannya dengan aktifitas perusahaan.

Pendek kata, pemerintah harus segera menyelesaikan pekerjaan yang tertunda di Sulawesi ini setuntas-tuntasnya. Polisi hanya bisa menertibkan keadaan dan pemerintah daerah hanya bisa memfasilitasi interaksi kedua belah pihak.

Masalah utamanya hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah di Jakarta, yang telah memutuskan kawasan Morowali khususnya dan Sulawesi pada umumnya sebagai kawasan khusus penambangan, pengolahan dan pengembangan komoditas nikel (termasuk program besar hilirisasi komoditas nikel) nasional di satu sisi dan memberi prioritas pada investor-investor dari negeri Tirai Bambu di sisi lain.

Jangan ada lagi kasus yang sama terjadi karena pemerintah memilih menjinakkan keadaan, tapi tidak membereskan akar persoalan.

Jika komoditas nikel memang harus menjadi komoditas andalan nasional di kancah global, maka potensi-potensi bom waktu semacam ini harus segera diselesaikan segera dan sedetail-detailnya.

Relasi tenaga kerja lokal dan TKA harus dibuat terang seterang-terangnya. Jangan ada dualisme perlakuan kepada kedua jenis tenaga kerja tersebut.

Relasi perusahaan dan program besar hilirisasi komoditas nikel dengan misi besar penjagaan kelestarian lingkungan harus dikedepankan.

Jangan sampai satu bencana besar di kemudian hari malah mengeliminasi semua yang telah dibangun dengan susah payah di sana hanya karena pemerintah dan perusahaan gagal menjalankan tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Semoga.

https://nasional.kompas.com/read/2023/01/24/13382171/kerusuhan-di-pt-gni-lampu-kuning-bagi-pemerintah

Terkini Lainnya

Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Nasional
Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Nasional
Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri 'Drone AI' Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri "Drone AI" Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Nasional
Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Nasional
Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Nasional
Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Nasional
Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Nasional
15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, 'Prof Drone UI' Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, "Prof Drone UI" Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

Nasional
Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Nasional
Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Nasional
9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

Nasional
Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Nasional
Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke