Dari laporan yang diberikan oleh PPHAM, Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi dalam keterangannya usai menerima laporan.
"Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada 12 peristiwa," katanya lagi.
Berikut tiga poin dari pernyataan Jokowi.
1. Rincian peristiwa
Kepala Negara kemudian merinci 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang dimaksud.
Keduabelas peristiwa terjadi dalam rentang waktu sejak 1965 hingga 2003. Berikut rinciannya:
2. Janji pulihkan hak korban
Merujuk 12 peristiwa tersebut, Jokowi menyatakan simpati dan empati mendalam kepada para korban dan keluarga korban.
Kemudian, Jokowi berjanji pemulihan hak korban akan dilakukan secara adil.
"Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial (hukum)," ujar Jokowi.
Ia juga berjanji akan berusaha agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi di masa mendatang
"Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," kat Jokowi.
Oleh karenanya, Jokowi meminta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah tersebut.
Tujuannya agar upaya pemerintah bisa terlaksana dengan baik.
"Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Jokowi.
Ia mengatakan, selesainya tugas Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM tidak meniadakan proses yudisial terhadap pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Tim ini tidak meniadakan proses yudisial," kata Mahfud saat menyerahkan laporan Tim PPHAM ke Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu.
Mahfud juga menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc atas persetujuan DPR.
Sementara itu, pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000 akan diadili melalui pengadilan HAM biasa.
Buktinya, kata Mahfud, pemerintah sudah membawa empat kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000 tetapi para pelakunya dibebaskan.
"Semua tersangkanya dibebaskan karena tidak cukup bukti untuk dikatakan pelanggaran HAM berat. Bahwa itu kejahatan, iya, tapi bukan pelanggaran HAM berat karena itu berbeda," ujarnya.
"Kalau kejahatannya semua sudah diproses secara hukum tapi yang dinyatakan pelanggaran HAM beratnya itu memang tidak cukup bukti," kata Mahfud lagi.
Oleh karenanya, Mahfud memastikan pemerintah akan terus berupaya menempuh jalur yudisial untuk mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Kami akan terus usahakan itu dan persilakan Komnas HAM bersama DPR dan kita semua mencari jalan untuk itu," kata Mahfud.
"Jadi, tim ini tidak menutup dan mengalihkan penyelesaian yudisial menjadi penyelesaian nonyudisial, bukan, yang yudisial silakan jalan," ujarnya lagi.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/12/09455181/3-poin-pernyataan-jokowi-soal-pelanggaran-ham-berat