Potongan itu diambil dari kisah Matius yang masyhur mengenai kedatangan orang Majus dari Timur.
Tak perlu mengulang cerita Matius itu, karena kisahnya sudah sangat terkenal dan menginspirasi banyak lukisan maupun karya sastra. Juga menggelitik imajinasi ilmiah soal "bintang Betlehem" yang konon menandai tempat di mana keluarga kudus Nazaret bermukim, sehingga para Majus dapat menemukan mereka.
Imajinasi yang dikembangkan Matius memang luar biasa. Dan sampai sekarang banyak orang masih terpesona dengannya.
Misalnya, ketika Universitas Groeningen merayakan dies natalis-nya ke-400 tahun, mereka menyelenggarakan tiga hari seminar khusus soal bintang Betlehem yang mengundang para ahli astronomi maupun sejarawan.
Konon itu dilakukan sembari merayakan buku Johannes Kepler, terbit pada 1614, berjudul "De vero anno quo aeternus deus filius humanam naturam in utero benedictae Virginis Mariae assumpsit", yang memberi tebakan ilmiah soal bintang Betlehem!
Seberapa benar tebakan ilmiah tadi sama sekali tidak menarik perhatian saya. Sebab, saya yakin, Matius tidak bermaksud membuat laporan jurnalistik soal kedatangan para Majus. Bahkan sampai sekarang kita tidak tahu persis siapa para Majus yang dimaksud Matius.
Bagi saya, kisah Matius itu justru membuka alternatif pemaknaan lain yang lebih gayut, jika kita memperhatikan beberapa rinciannya. Saya ingin melihatnya sebagai pewartaan "subversif" Matius.
Tanpa perlu masuk ke dalam rinciannya, tiga hal ini dapat membantu kita menemukan sifat "subversif" dalam kisah Matius.
Pertama, perhatikan bagaimana Matius mengisahkan justru orang asing, yakni para Majus yang non-Yahudi, yang dapat memahami makna bayi yang baru dilahirkan.
Melalui kepekaan membaca tanda-tanda alam, mereka paham siapa sesungguhnya "raja orang Yahudi" (istilah yang hanya dipakai Matius!) yang baru dilahirkan.
Dan berkaitan dengan itu, kedua, orang-orang Yahudi sendiri, terutama para ahli agama dan pemegang kuasa, justru ingin menyingkirkan bayi Yesus yang dianggap jadi ancaman status quo.
Bagi Herodes, pertanyaan para Majus jelas memukul posisinya sebagai penguasa, sehingga ia merasa perlu mengundang para imam kepala dan ahli-ahli Taurat.
Mereka sadar, melahiran bayi yang disebut "raja orang Yahudi" itu akan mengguncang ke(ny)amanan yang selama ini dinikmati.
Akhirnya, ketiga, Matius mengisahkan para malaikat yang memberi tahu para Majus (non-Yahudi!) untuk mengambil "jalan lain", dan mereka mematuhinya.
Saya kira di sini drama ironis Matius mencapai puncaknya: bukan orang-orang yang, konon, adalah "bangsa pilihan", yang diberi kabar malaikat, tetapi justru orang asing!
Dan persis itulah warta Injil yang "subversif" yang mengganggu ke(ny)amanan hidup kita. Sebab Natal memang, sebenarnya, warta yang bersifat "subversif".
Warta itu menjungkirbalikkan segala tatanan yang selama ini dipegang dan diyakini begitu saja.
Bayangkan saja: Allah Yang Maha Tinggi justru memilih untuk menjadi bayi tak berdaya, dan bukan tatanan kekuasaan yang ada.
Lagi pula, Allah juga memilih untuk mewartakan kabar penebusan-Nya pada orang-orang lemah, seperti para gembala (dalam kisah Lukas), atau orang Majus yang asing (dalam kisah Matius).
Pada Matius, warta "subversif" itu makin digarisbawahi karena kita melihat kontrasnya dengan sikap Herodes, si penguasa yang ketakutan dan ingin mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara.
Kita tahu, nantinya Herodes bahkan tega membunuh semua anak-anak tak berdosa di Betlehem, setelah para Majus memilih jalan yang lain (lih. Mat 2:16-18).
Di sini, saya kira, kita bertemu dengan paradoks dasar iman kristiani: perombakan tatanan justru dimulai dari "tepian kehidupan", seperti pernah ditegaskan Paus Fransiskus, yakni dari mereka yang lemah, tak berdaya, disingkirkan, atau bahkan oleh "orang asing".
Pada tepian kehidupan yang sering diremehkan itulah Allah bekerja untuk memperbarui kehidupan.
Nantinya paradoks tadi mencapai puncaknya di Golgota saat Yesus disalibkan. Pada satu sisi, Golgota melambangkan Yesus sebagai "Mesias yang gagal" (failed Messiah).
Tetapi kita tahu, pada sisi lainnya, justru kegagalan itu merupakan cara yang dipilih Allah untuk melaksanakan rencana penebusan-Nya.
Sayang sekali, warta "subversif" Injil itu kerap dilupakan saat kita merayakan Natal. Lebih sering Natal dilihat sekadar sebagai perayaan "ulang tahun" Yesus, sekaligus kesempatan hura-hura belanja akhir tahun.
Dan kisah para Majus menjadi dongeng pengantar tidur, atau spekulasi ilmiah tentang "bintang Betlehem".
Karena itu, saya menyambut gembira undangan PGI dan KWI agar kita merenungkan ulang "jalan lain" dalam merayakan Natal tahun ini.
Renungan itu penting, karena di tahun mendatang kita akan memasuki "tahun politik" di mana kekuasaan diperebutkan habis-habisan.
Persoalannya, dapatkah kita sadar lalu mengambil "jalan lain" dalam memaknai kekuasaan itu?
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/24/06000011/natal-memilih-jalan-lain