JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Yustisial Mahkamah Agung (MA) Edy Wibowo mendatangi gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (19/12/2022) pagi.
Edy duduk di deret kedua bangku tunggu pada lobi gedung KPK. Mengenakan jas dan kemeja berwarna gelap, Edy mengenakan lanyard berwarna merah. Kalung itu adalah tanda bagi orang yang diperiksa KPK.
Hari itu, Edy diperiksa sebagai tersangka dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Ia diperiksa sebagai tersangka.
Pengacara Edy, Ahmad Yani mengaku tidak mengetahui kliennya menjadi tersangka dalam perkara yang mana. Hanya saja, Edy menerima surat pemberitahuan penetapan tersangka sekitar 5 Desember.
Sebab, sejauh ini KPK baru mengumumkan dua perkara suap di MA, yakni suap hakim agung kamar perdata Sudrajad Dimyati dan hakim agung kamar pidana, Gazalba Saleh.
“Ya dia dalam kapasitasnya Pak Edy Wibowo sekarang ini dipanggil, diperiksa, sudah ditetapkan tersangka, tapi kasusnya apapun kita belum tau,” kata Yani saat ditemui awak media di gedung KPK, Senin (19/12/2022).
Yani menduga, perkara yang menjerat kliennya masih berkaitan dengan kasus dua hakim agung sebelumnya. Namun, ia mengaku tidak mengetahui persoalan tersebut dengan pasti.
Yani hanya menyebut bahwa Edy baru pertama menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Pada akhir September lalu, saat hakim, PNS di MA, pengacara dan pihak Koperasi Simpan Pinjam (KSP) ditangkap, Edy dipanggil KPK untuk dimintai keterangan.
“Makanya pas peristiwa OTT itu, dia beritikad baik dia ditelpon dia datang, dan dia sudah jelaskan bahwa dia tidak tahu,” kata Yani.
Yani membantah kliennya menerima uang. Menurutnya, Edy hanya terseret lantaran namanya disebutkan oleh orang lain yang terjerat persoalan suap. Ia mempertanyakan bukti kliennya menerima uang.
Yani mengklaim, dalam perkara kasasi Intidana, Edy hanya menjadi panitera, memberikan pandangan hukum dan selesai. Ia menyebut kliennya tidak mengenal pihak yang berperkara.
“Dia tidak pernah berhubungan, menurut keterangan dia,” ujar Yani.
Jadi Tersangka Perkara Kasasi yang Lain
Setelah diperiksa penyidik selama beberapa jam, Edy digelandang petugas dari lantai dua gedung Merah Putih. Ia mengenakan rompi oranye “tahanan KPK” dan kedua tangannya diborgol.
Ketua KPK Firli Bahuri mengumumkan Edy telah ditetapkan sebagai tersangka yang berbeda dari Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.
Firli mengatakan, kasus Edy memang berawal dari rangkaian penyidikan kasus suap Sudrajad Dimyati. KPK menemukan dugaan Edy menerima suap terkait pengurusan kasasi Yayasan Rumah Sakit (RS) Sandi Karsa Makassar.
Setelah alat bukti dan penyidikan dirasa cukup, KPK kemudian menahan Edy Wibowo.
“Langkah berikutnya yaitu KPK meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan tersangka Edy Wibowo,” kata Firli, Senin (19/12/2022) petang.
Firli mengatakan, Edy akan ditahan di rumah tahanan (Rutan) KPK pada gedung Merah Putih selama 20 hari pertama, terhitung sejak 19 Desember 2022 hingga 7 Januari 2023.
Adapun upaya paksa penahanan dilakukan untuk kebutuhan penyidikan.
Suap Rp 3,7 M untuk Kondisikan Putusan
Firli menyebut Edy diduga menerima suap hingga Rp 3,7 miliar. Suap diberikan oleh Ketua Yayasan RS Sandi Karsa Makassar, Wahyudi Hardi.
Wahyudi meminta hakim MA dalam putusannya menyatakan RS Sandi Karsa Makassar tidak bangkrut atau pailit.
“Sebagai tanda jadi kesepakatan, diduga ada pemberian sejumlah uang secara bertahap hingga mencapai sekitar Rp 3,7 miliar,” ungkap Firli.
Firli menuturkan, perkara ini dimulai saat PT Mulya Husada Jaya yang memberikan pinjaman kepada RS Sandi Karsa Makassar, menggugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Gugatan dilakukan melalui Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam prosesnya, mediasi antara kedua belah pihak berakhir buntu. Hakim Pengadilan Niaga kemudian menyatakan Yayasan Sandi Karsa Makassar pailit berikut segala akibat hukumnya.
Keberatan atas putusan ini, Yayasan RS Sandi Karsa Makassar mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung,
“Salah satu isi permohonannya agar putusan di tingkat pertama ditolak dan memutus Yayasan RS Sandi Karsa Makassar tidak dinyatakan pailit,” tutur Firli.
Agar permohonan itu dikabulkan, pada bulan Agustus Ketua Yayasan RS Sandi Karsa Makassar, Wahyudi Hardi mendekati dan aktif menghubungi dua orang PNS di MA.
Mereka adalah Muhajir Habibie dan Albasri, Keduanya diminta memantau dan mengawal proses kasasi itu dengan kesepakatan sejumlah uang yang dibayarkan secara bertahap.
Adapun uang Rp 3,7 miliar itu diberikan Wahyudi melalui Muhajir dan Albasri yang menjadi orang kepercayaan Edy Wibowo.
Penyerahan uang dilakukan di MA selama proses kasasi masih bergulir. Suap diberikan untuk mempengaruhi putusan kasasi.
“Setelah uang diberikan maka putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan dan isi putusan menyatakan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit,” tutur Firli.
Edy kemudian disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a dan b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sebagai informasi, dalam kasasi itu, Edy hanya duduk sebagai panitera. Ia tidak memiliki wewenang mengatur isi putusan.
Adapun putusan yang diduga dikondisikan dengan sejumlah uang dikeluarkan oleh tiga hakim agung yang diketuai Takdir Rahmadi serta hakim anggota Nurul Elmiyah dan Rahmi Mulyati.
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/20/09154891/bertambah-lagi-hakim-ma-jadi-tersangka-suap-pengurusan-perkara-kasasi