JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi leher korban gagal ginjal akut akibat obat batuk sirup tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang sudah pulang dari rumah sakit masih berlubang.
Kuasa hukum korban gagal ginjal akut, Awan Puryadi mengatakan, leher pasien tersebut dilubangi untuk keperluan trakeostomi.
Adapun trakeostomi merupakan prosedur manajemen jalan nafas bedah dengan cara menyayat anterior leher. Jalan napas langsung melalui sayatan di trakea juga dibuka.
“Ini lubang trakeostominya masih terbuka. Itu harus dirawat sendiri oleh ibunya, plus alat-alat penunjangnya harus beli sendiri,” kata Awan saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (13/12/2022).
Awan menuturkan, salah satu orangtua korban bernama Resti harus mengeluarkan alat penunjang tersebut dengan biaya sendiri. Harganya sekitar Rp 50 juta.
Selain itu, meski dinyatakan bisa pulang dari rumah sakit, anak Resti saat ini mengalami kelumpuhan. Pergelangan tangan dan jari-jari anak itu tidak bisa digerakkan.
“Kondisinya masih lumpuh anaknya ini, ketika pulang (dari rumah sakit),” ujar Awan.
Sementara biaya pengobatan rawat jalan itu tidak ditanggung pemerintah, Resti juga harus menghadapi persoalan ekonomi.
Sebelum anaknya sakit, ia dan keluarga kecilnya tinggal di sebuah kontrakan di Bekasi. Mereka terpaksa pindah ke kawasan Jakarta Pusat karena anaknya harus dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Suami Resti kemudian memutuskan meninggalkan pekerjaannya. Sementara, Resti harus tetap bekerja karena anaknya ditanggung BPJS atas nama dirinya.
“Semakin menipis kebutuhannya plus dia harus menyediakan semua alat alat penunjang supaya anaknya hidup,” tutur Awan.
Awan menilai pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak bertanggung jawab.
Korban obat batuk cair tercemar EG dan DEG yang meninggal dunia tidak mendapatkan uang kerahiman. Mereka bahkan harus merogoh kantong sendiri untuk biaya ambulans.
Tidak hanya, itu, menurutnya terdapat banyak informasi yang menyebut bahwa tidak semua perawatan tersebut ditanggung BPJS. Salah satunya biaya strap atau tali yang digunakan untuk kebutuhan trakeostomi.
“Alasannya tidak ada stok. Banyak yang seperti itu,” tuturnya.
“Menteri Kesehatan bilang ini di-cover, di-cover. Tapi nyatanya di lapangan banyak yang orangtua korban ini betul-betul kesulitan,” ujar Awan.
Sebagai informasi, 199 anak meninggal dunia akibat obat sirup cair yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DG).
Data tersebut merujuk pada data Kementerian Kesehatan per 16 November 2022. Adapun jumlah korban yang menderita gagal ginjal akut sebanyak 324 anak.
Sejumlah keluarga korban obat sirup beracun kemudian menggugat sembilan pihak yang dinilai bertanggung jawab.
Mereka adalah Kemenkes dan BPOM. Kemudian, PT Afi Farma Pharmaceutical Industry dan PT Universal Pharmaceutical Industries selaku produsen obat.
Selanjutnya, lima perusahaan supplier bahan baku obat yakni, PT Megasetia Agung Kimia, CV Budiarta, PT Logicom Solution, CV Mega Integra, dan PT Tirta Buana Kemindo.
Para penggugat meminta agar tergugat membayar ganti rugi material dan immaterial. Selain itu, hakim juga diminta menyatakan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum.
Namun, gugatan tersebut dihapus karena jumlah keluarga korban yang memberikan kuasa bertambah. Gugatan nantinya akan direvisi untuk kemudian diajukan kembali.
“Kemungkinan Januari pertengahan baru sidang lagi yang dihadiri semua perwakilan korban,” tutur Awan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/13/21151081/cerita-keluarga-pasien-gagal-ginjal-akut-lumpuh-setelah-pulang-dari-rumah