JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari tak menampik jika Pemilihan Legislatif dengan sistem proporsional tertutup memiliki beberapa nilai lebih, ketimbang dengan proporsional terbuka.
Salah satu dampak positifnya termasuk bagi kinerja KPU dalam mencetak surat suara.
"Kalau KPU ditanya, lebih pilih proporsional tertutup karena surat suaranya cuma satu dan berlaku di semua dapil, itu di antaranya," kata Hasyim di kantor KPU RI, Jumat (14/10/2022).
"Situasinya pasti ada kekuranngan dan kelebihan, ada keunggulan, ada kelemahan. Kalau sistem di KPU, kalau sistem proporsional data calon tertutup, desain surat suaranya simpel," jelasnya.
Adapun dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik. Partai politik yang berwenang menentukan siapa anggota legislatif yang bakal duduk di parlemen.
Sementara, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik atau nama calon anggota legislatif yang diharapkan duduk di parlemen.
Tingkat keterwakilan dalam sistem ini dianggap lebih baik, ketimbang dalam sistem tertutup, karena pemilih dapat mencoblos langsung calon legislator pilihannya.
Hasyim mengatakan, pada Pemilu 2019, jumlah dapil yang ada mencapai 2.558 untuk pemilihan legislatif di luar DPD RI.
Dengan sistem proporsional terbuka, maka KPU harus mencetak 2.558 surat suara yang berlainan, karena masing-masing dapil punya daftar calegnya sendiri.
"Kalau ditanya lebih simpel mana mendesainnya, lebih simpel proporsional daftar calon tertutup, karena tidak ada nama calonnya di surat suara. Templatenya sama se-Indonesia Raya," ujar komisioner KPU RI dua periode itu.
Penyederhanaan surat suara ini juga secara otomatis bakal menghemat anggaran yang dibutuhkan untuk mencetak surat suara.
Hasyim menegaskan bahwa argumen yang ia sampaikan bukan berarti usul terhadap dilaksanakannya pileg proporsional tertutup.
"Bukannya KPU mengusulkan, ya, tapi kan kalau ditanya, secara pilihan itu ya KPU pilih proposional tertutup," kata dia.
Wacana pileg proporsional tertutup mulai kembali digulirkan MPR RI.
Adapun Badan Pengkajian MPR RI yang diketuai politikus PDI-P Djarot Syaiful Hidayat bahkan juga telah beraudiensi dengan jajaran komisioner KPU RI, membahas soal peluang dilaksanakannya pileg proporsional tertutup dan pilkada asimetris.
Dikritik
Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) sebelumnya mengkritik dalih efisiensi di balik mengemukanya kembali wacana pemilihan legislatif (pileg) dengan sistem proporsional tertutup.
"Argumen utamanya efisiensi anggaran, efisiensi kerja enggak juga. Kalau yang dikejar hanya efisiensi, saya mau bilang gini, pemerintahan yang paling efisien adalah yang paling otoriter karena jalurnya tidak panjang," kata Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).
"Tapi demokrasi kan tidak bicara melulu soal efisiensi. Esensi demokrasi adalah rakyat punya daulat, di mana masyarakat punya kuasa memilih representasinya secara langsung," jelasnya.
Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg pilihannya untuk duduk di parlemen. Sementara itu, dalam sistem tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik, untuk berikutnya partai yang memilihkan kadernya duduk di parlemen.
Hurriyah menambahkan, demokrasi tidak bicara soal efisien atau tidak efisien.
Dibandingkan sistem pemerintahan lain, demokrasi justru mungkin menjadi sistem yang paling tidak efisien.
"Demokrasi memang mahal, tetapi demokrasi terbukti menjadi sistem yang terbaik di antara pilihan yang buruk," ujarnya.
https://nasional.kompas.com/read/2022/10/14/15082351/ketua-kpu-kalau-ditanya-kpu-pilih-proporsional-tertutup