JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani tak keberatan jika Presiden Joko Widodo mau menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Namun ia menegaskan wacana itu harus dikaji lebih dulu secara hukum.
“Prinsip setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, dan setiap warga negara berhak untuk dipilih,” sebut Muzani ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (28/9/2022).
“Berhak memilih dan berhak dipilih adalah orang yang tidak melanggar peraturan dan undang-undang, kira-kira seperti itu. Jadi saya kira dari situlah pijakannya,” sambungnya.
Adapun Sekretariat Bersama (Sekber) Prabowo - Jokowi 2024-2029 mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sekber Prabowo - Jokowi membutuhkan kepastian dari MK apakah presiden dua periode bisa mencalonkan diri sebagai cawapres.
Muzani mengungkapkan Partai Gerindra menghormati siapapun figur yang didorong untuk mendampingi Prabowo sebagai capres dalam kontestasi elektoral mendatang.
“Tentang nama-nama (cawapres) ada Jokowi atau siapa, bagi kami semuanya adalah kehormatan karena itu adalah orang-orang terbaik bangsa, yang reputasi jejak dan track recordnya sudah cukup jelas,” tuturnya.
Namun hingga saat ini Muzani mengaku belum membahas dengan Prabowo terkait wacana Jokowi sebagai cawapres.
“Kami belum diskusikan tentang itu sama beliau, yang kami diskusikan adalah bagaimana pencalonan beliau bisa jalan lancar,” tandasnya.
Diketahui konstitusi tak mengatur dengan pasti apakah presiden yang telah menjabat dua periode boleh kembali mencalonkan diri sebagai cawapres.
Namun Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menegaskan hal itu tak bisa terjadi karena ketentuan Pasal 7 dan 8 UUD 1945.
Pasal 7 berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".
Namun Pasal 8 UUD 1945 berisi ketentuan yang menyebut wakil presiden dapat menjadi presiden pada kondisi tertentu seperti Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.
Hasyim menjelaskan jika Jokowi menjadi wakil presiden, jika terjadi sesuatu pada presidennya sesuai ketentuan Pasal 8 UUD 1945, maka ia tak bisa menjabat lagi sebagai presiden.
Sebab Jokowi telah menjabat sebagai Presiden selama dua periode.
"Dalam situasi tersebut, A tidak memenuhi syarat sebagai presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 169 huruf n Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," papar Hasyim.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/28/15231161/gerindra-tak-keberatan-jika-jokowi-jadi-cawapres-prabowo-tapi