Salin Artikel

Majelis Angka (MA): Ketika Ketok Palu Bernilai Dollar

Di neg'riku Indonesia
Tambang emas, intan permata
Tapi entah siapa yang punya
Kerja berat, peras k'ringat, banting tulang
Pontang-panting dari berdiri sampai nungging
Tapi mengapa masih banyak rakyat miskin?
Apa harus budi daya kalajengking?

Pujino, sang penulis lirik lagu “Kalajengking” ini sepertinya tidak ingin bercanda tentang negerinya yang gemah ripah loh jinawi ini.

Bisa jadi Pujiono ingin “menggugat” betapa karunia yang dipunyai bangsanya ini bisa hilang dan lenyap ketika keadilan menjadi komoditi berharga mahal.

Bicara mengenai keadilan dari dulu hingga sekarang, seperti mencari sebatang jarum di tengah luasnya gurun pasir. Muskil untuk menemukannya walau menggunakan alat detektor logam secanggih apapun.

Kalau pun sanggup dengan dipaksakan, harus terpaksa rental daripada beli alat detektor logam berharga mahal.

Usai saya menamatkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tahun 1992 silam, orangtua saya yang hanya berpendidikan sekolah menengah dan pensiunan bintara TNI-AD begitu bungah.

Dianggapnya sang putranya sebentar lagi menjadi pengacara kondang, bermobil mewah, wangi dan tajir melintir.

Tamatan Hukum UI, sejak dulu hingga kini dinilai masyarakat kebanyakan sangat piawai dalam mempertahankan dalil-dalil hukum di pengadilan.

Dengan mengenakan dasi, walau baru saya pasang di toilet pengadilan, saya merasa siap menghadapi pengacara yang menjadi lawan klien saya.

Saya pertahankan habis-habisan dalil hukum untuk membela klien. Saya begitu terperangah, ketika hakim pengadilan negeri menyatakan klien yang saya bela harus kalah.

Saya malu untuk pulang ke kantor. Terbayang wajah bos saya yang akan marah “besar” karena saya takluk melawan pengacara “unyu-unyu” lulusan kampus tidak ternama.

Begitu saya paparkan kekalahan klien, bos saya hanya senyum-senyum simpul. Dia tertawa lebar sembari menjabat tangan saya.

Dia bilang: “vonis hakim sudah kita atur dan kita harus kalah demi uang”.

Saya merasa terpuruk ketika itu. Saya yang datang ke pengadilan menggunakan bus umum Metromini harus kalah melawan pengacara lawan yang datang ke pengadilan dengan mobil mewah. Itu pun petugas pengadilan yang membukakan pintu kendaraannya. Edan!

Momen itulah yang menjadi titik balik hidup saya untuk “banting stir” dari pengacara menjadi pekerja media sembari menekuni ilmu komunikasi.

Saya mulai mendefinisikan ulang hidup saya. Kaya bukan menjadi tujuan hidup jika idealisme tergadaikan dan keadilan bisa diperdagangkan.

Menjadi wartawan adalah panggilan jiwa walau akhirnya dunia kampus dan praktik keilmuan di lapangan menjadi profesi yang tidak menjanjikan kekayaan tetapi kemuliaan.

Hakim agung yang tidak “agung”

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak berdirinya hingga sekarang, akhirnya terpaksa harus mengakui gundah gulananya saat mengumumkan operasi tangkap tangan terhadap jaringan “laba-laba” pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) tanggal 22 September 2022 kemarin (Kompas.com, 22 September 2022).

Penangkapan terhadap sejumlah pegawai MA dan menyeret dugaan keterlibatan Hakim Agung Sudrajat Dimyati menjadi kiprah pertama KPK bisa mengungkap “permainan” kotor hakim agung di MA.

Selama ini, isu kasasi dan peninjauan kembali “bertarif” mahal di MA laksana menuduh orang kentut saja.

Bau busuknya mudah tercium kemana-mana tetapi soal siapa yang kentut, hanya oknum yang “ngentut” dan Sang Pencipta saja yang tahu kebenarannya.

MA oleh rekan-rekan saya di kalangan pengacara dan para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung adalah penentu “nasib” kehidupan.

Kasak-kasuk yang beredar, siapkan puluhan miliar rupiah dan cari “kalajengking” hingga jaringan “laba-laba” di MA agar perkara bisa dimenangkan.

Seperti alur yang selama ini digunakan para pengacara untuk memenangkan kliennya, terkuaknya kasus dugaan permainan “orang-orang dalam“ di MA terkait dengan pengurusan perkara yang ingin “disetir” hasil putusannya.

Pengacara Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) Yosep Parera dan Eko Suparno yang kini menjadi tersangka, mengakui inisiatif setoran uang pemutus perkara kasasi datang dari “orang dalam” MA sendiri.

Berdasarkan informasi dari masyarakat dan pengembangan kasus, petugas KPK akhirnya melakukan penangkapan di Jakarta, Bekasi, Jawa Barat dan Semarang, Jawa Tengah.

Penyerahan uang yang nominalnya diminta pegawai kepaniteraan MA, Desy Yustria kepada Eko Suparno dilakukan di sebuah hotel di Bekasi.

KPK menemukan valuta asing sebanyak 205.000 dolar Singapura di rumah Desy serta ada Rp 50 juta lagi yang diserahkan pegawai MA langsung ke KPK.

Dana yang terkumpul itu nantinya akan diba-bagi ke petugas MA yang lain dan tentunya yang mendapat jatah ”preman” terbesar adalah hakim agung perdata yang akan memutus kasasi kasus tersebut.

Padahal muara kasus Koperasi Simpang Pinjam Intidana (ID) diawali dengan laporan pidana dan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Semarang.

Pada proses persidangan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, hasil gugatan Intidana tidak memuaskan kliennya Yosep Parera dan Eko Suparno. Bahkan ke dua pengacara itu diminta kliennya untuk mengajukan kasasi.

Tidak hanya kasasi, ke dua pengacara juga menjalin kerjasama dengan “orang-orang dalam“ yang dinilai mampu menjadi penghubung dan fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan klien (Cnnindonesia.com, 23 September 2022).

Permainan orang dalam pembuka kotak pandora

Terungkap dan terkuaknya kasus permainan pengondisian putusan MA ini sebaiknya menjadi langkah pembuka bagi KPK untuk menelisik lebih jauh sinyalemen “lama” yang tidak lagi menjadi rahasia umum.

Hakim Agung yang diidealkan steril, tidak tersentuh pihak luar, independen, dan menjadi wakil Tuhan kini menjadi bahan lelucon.

KPK harus mau dan maju membuka jaringan laba-laba hingga kalajengking di MA jika ingin institusi antirasuah tersebut tetap dipercaya rakyat.

Bisa jadi permainan “orang dalam” itu tidak lagi amatiran, tetapi memang teroganisir dengan rapi dan tertutup.

Bisa jadi pula, kasus Intidana ini terbongkar karena “joroknya” permainan orang dalam MA yang terlalu obral penyelesaian perkara.

Terbongkarnya borok mafia perkara di MA seperti mengingatkan kasus permainan Sekretaris MA Nurhadi yang bekerjasama dengan menantunya terkait pengurusan gugatan hukum baik di tingkat pertama hingga kasasi.

Kasus gratifikasi yang diterima Nurhadi dari pihak berperkara mencapai puluhan miliar rupiah dan sayangnya ketika itu, KPK belum menjamah hingga ke jajaran hakim agung.

Pengungkapan kasus “kongkalingkong” orang dalam MA – termasuk hakim agung - dengan pihak-pihak berperkara harus dirunut KPK dari kasus-kasus “janggal” yang menodai rasa keadilan dan diputus seenaknya oleh MA sebagai garda terakhir penentu keadilan.

“Inilah sistem yang di negara kita, dimana setiap aspek sampai tingkat atas harus mengeluarkan uang. Salah satu korbannya adalah kita. Intinya akan kami buka semua, kami siap menerima hukumannya karena itu ketaatan kami. Kami merasa moralitas kami sangat rendah, kami bersedia dihukum yang seberat-beratnya.” – Yosep Parera (tersangka kasus suap Hakim Agung MA)

https://nasional.kompas.com/read/2022/09/24/06000041/majelis-angka-ma---ketika-ketok-palu-bernilai-dollar

Terkini Lainnya

Pertamina Patra Niaga Gerak Cepat Tertibkan 12 SPBE

Pertamina Patra Niaga Gerak Cepat Tertibkan 12 SPBE

Nasional
Megawati: Ada yang Lama Ikut Katanya Ibu Menghina Sebut Kader, Tahulah Siapa...

Megawati: Ada yang Lama Ikut Katanya Ibu Menghina Sebut Kader, Tahulah Siapa...

Nasional
Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Mendapatkan Simpati Publik

Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Mendapatkan Simpati Publik

Nasional
Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Nasional
Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Nasional
Ditinggal Jokowi, PDI-P Disebut Bisa Menang Pileg karena Sosok Megawati

Ditinggal Jokowi, PDI-P Disebut Bisa Menang Pileg karena Sosok Megawati

Nasional
Rakernas V PDI-P Rekomendasikan ke Fraksi DPR Dorong Kebijakan Legislasi Tingkatkan Kualitas Demokrasi Pancasila

Rakernas V PDI-P Rekomendasikan ke Fraksi DPR Dorong Kebijakan Legislasi Tingkatkan Kualitas Demokrasi Pancasila

Nasional
Ganjar Yakin Megawati Sampaikan Sikap Politik PDI-P untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran Saat Kongres Partai

Ganjar Yakin Megawati Sampaikan Sikap Politik PDI-P untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran Saat Kongres Partai

Nasional
Persiapan Peluncuran GovTech Makin Matang, Menteri PANRB: Langkah Akselerasi Transformasi Digital Indonesia

Persiapan Peluncuran GovTech Makin Matang, Menteri PANRB: Langkah Akselerasi Transformasi Digital Indonesia

Nasional
Megawati Minta Krisdayanti Buatkan Lagu 'Poco-Poco Kepemimpinan', Sindir Pemimpin Maju Mundur

Megawati Minta Krisdayanti Buatkan Lagu "Poco-Poco Kepemimpinan", Sindir Pemimpin Maju Mundur

Nasional
Marinir TNI AL Persiapkan Satgas untuk Jaga Perbatasan Blok Ambalat

Marinir TNI AL Persiapkan Satgas untuk Jaga Perbatasan Blok Ambalat

Nasional
PDI-P Perketat Sistem Rekrutmen Anggota, Ganjar: Itu Paling 'Fair'

PDI-P Perketat Sistem Rekrutmen Anggota, Ganjar: Itu Paling "Fair"

Nasional
Coba Itung Utang Negara, Megawati: Wow Gimana Ya, Kalau Tak Seimbang Bahaya Lho

Coba Itung Utang Negara, Megawati: Wow Gimana Ya, Kalau Tak Seimbang Bahaya Lho

Nasional
Megawati: Kita Cuma Seperempat China, Gini Saja Masih Morat-Marit dan Kocar-Kacir Enggak Jelas

Megawati: Kita Cuma Seperempat China, Gini Saja Masih Morat-Marit dan Kocar-Kacir Enggak Jelas

Nasional
PDI-P Perketat Diklat untuk Caleg Terpilih Sebelum Bertugas

PDI-P Perketat Diklat untuk Caleg Terpilih Sebelum Bertugas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke