Salin Artikel

KSP Klaim Korban Dilibatkan dalam Penyusunan Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengeklaim, penyusunan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu turut melibatkan korban.

"Keppres yang ditandatangani oleh Presiden telah melalui proses pemikiran yang matang dan pembahasan yang panjang dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, tidak terkecuali korban pelanggaran HAM," kata Jaleswari, dalam siaran pers, Sabtu (20/8/2022).

Jaleswari menjelaskan, tim yang dibentuk lewat keppres tersebut memiliki tiga mandat yang sejalan dengan komisi kebenaran, yakni meliputi pengungkapan kebenaran, rekomendasi reparasi, dan mengupayakan ketidakberulangan.

Tim tersebut, kata dia, beranggotakan tokoh-tokoh yang berintegritas, kompeten, dan memiliki pemahaman HAM yang memadai.

Tim itu juga disebut merepresentasikan kelompok yang bisa menjamin tercapainya tujuan dikeluarkannya keppres.

Ia menambahkan, mekanisme yudisial dan non-yudisial harus ditempuh dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Hal ini ia sampaikan untuk merespons kritik dari koalisi masyarakat sipil yang menilai bahwa keppres tersebut sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

"Jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial merupakan proses yang berbeda tetapi perlu ditempuh kedua-duanya," kata Jaleswari.

Jaleswari menyebutkan, dua jalur itu perlu ditempuh untuk memastikan tercapainya aspek-aspek keadilan transisional yang diakui komunitas internasional sebagai metode menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

Metode penyelesaian itu meliputi aspek kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan.

Ia menuturkan, jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi, bukan saling menggantikan untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh.

Jika mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan tertributif, maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban.

"Kedua jalur tersebut saling melengkapi dan menyempurnakan. Keduanya dapat dijalankan secara paralel," kata Jaleswari.

Menurut dia, mekanisme non-yudisial lebih memungkinkan terwujudnya hak-hak korban seperti hak untuk mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak atas kepuasan.

"Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya melalui proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, fasilitasi rekonsiliasi, memorialisasi dan lain sebagainya," kata Jaleswari.

Saat berpidato dalam Sidang Tahunan MPR pada Selasa (16/8/2022) lalu, Jokowi mengaku telah menandatangani Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Ia juga mengeklaim pemerintah serius dalam memperhatikan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Koalisi Masyarakat Sipil lantas mendesak Jokowi untuk membatalkan keppres tersebut karena dinilai mempertontonkan keengganan pemerintah dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat.

"(Pembentukan Tim dinilai) dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap menuntaskan pelanggaran HAM berat," kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil melalui keterangan tertulis, Kamis (18/8/2022).

"Oleh sebab itu, kami mendesak untuk Presiden RI membatalkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu," tambah dia.

https://nasional.kompas.com/read/2022/08/20/17495881/ksp-klaim-korban-dilibatkan-dalam-penyusunan-keppres-tim-penyelesaian-non

Terkini Lainnya

MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

Nasional
Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Nasional
TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

Nasional
Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

Nasional
Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Nasional
Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Nasional
PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

Nasional
Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Nasional
KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

Nasional
Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Nasional
Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Nasional
Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Nasional
Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke