JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, Kejaksaan Agung (Kejagung) masih belum serius menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua, 2014.
Di Hari Bhakti Adhyaksa ke-62 yang jatuh pada 22 Juli 2022 kemarin, Kontras mendesak Kejaksaan Agung membenahi proses penyidikan pelanggaran HAM berat termasuk yang sudah dilimpahkan ke pengadilan.
“Ini menimbulkan pertanyaan mengenai tingkat keseriusan, motif dan profesionalitas Kejaksaan Agung di balik proses penyidikan ini,” tulis Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dalam situs resminya, Jumat (22/7/2022).
Kontras menilai, masih ada sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan peristiwa Paniai. Pertama, Fatia menyorot soal terdakwa tunggal.
Adapun dalam kasus tersebut Kejagung menetapkan tersangka IS yang pada 2014 menjabat sebagai perwira penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) wilayah Paniai.
Padahal, menurutnya, Komnas HAM sebagai penyelidik telah menyebutkan beberapa kategori pelaku yang perlu diusut, yakni Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan, dan Pelaku Pembiaran.
Kontras juga menyinggung soal adanya penggunaan pasal mengenai unsur rantai komando (Pasal 42 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM) untuk kejahatan kemanusiaan dalam perbuatan pembunuhan (Pasal 9 huruf a UU 26/2000) dan penganiayaan (Pasal 9 huruf h UU 26/2000) dalam dakwaan.
Tetapi, Kejagung hanya mengungkap satu terdakwa.
Fatia menyebut hal ini adalah bentuk ketidakmampuan sekaligus ketidakmauan untuk mengusut tuntas dengan membawa siapapun aktor yang terlibat dalam Peristiwa Paniai.
“Terdakwa IS hanya dijadikan kambing hitam dan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai hanya diproyeksikan sebagai bahan pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia,” tambah dia.
Kedua, Kejaksaan Agung dinilai tidak menyelenggarakan penyidikan yang transparan dan akuntabel dengan tidak melibatkan Penyidik Ad Hoc serta sedikit melibatkan para penyintas dan keluarga korban sebagai pihak yang seharusnya didampingi dan diperjuangkan keadilannya.
Selanjutnya, Kejagung dinilai belum memenuhi hak para korban, penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai.
Menurutnya, Kejagung dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) seharusnya membangun koordinasi dalam memberikan perlindungan dan juga memperjuangkan hak atas pemulihan keluarga korban.
“Dengan berbagai fakta di atas, kami berpandangan bahwa Sanitiar Burhanudin dan jajaran di Kejaksaan Agung hari ini bukan hanya menciptakan stagnasi melainkan juga memundurkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia,” ucap Fatia.
Menyikapi hal tersebut, Kontras melakukan audiensi dengan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) pada 21 Juli 2022 untuk melaporkan berbagai kejanggalan dalam proses penting penegakan keadilan dan HAM itu.
Pihak Kontras, kata dia, juga mengajukan permintaan audiensi ke pihak Kejaksaan Agung, namun tidak ada tanggapan sampai siaran pers diterbitkan.
Kontras juga mendesak Presiden Jokowi untuk mengevaluasi dengan tegas kinerja Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin dan jajaran di Kejaksaan Agung.
Lalu, meminta Komisi Kejaksaan RI untuk melaksanakan fungsi dan wewenangnya dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung dalam penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia.
Ketiga, Kontras meminta Kejaksaan Agung untuk membenahi proses penyidikan dengan menuntut pertanggungjawaban dari semua pelaku yang terlibat di Peristiwa Paniai.
“Kejaksaan Agung juga harus berkoordinasi dengan Komnas HAM dan LPSK untuk menegakkan hak para penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai,” tuturnya.
Kasus Paniai
Diketahui, Kejagung telah melimpahkan berkas perkara kasus penggaran HAM berat Paniai atas tersangka IS kepada Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makasar pada bulan Juli.
Perkara ini bermula ketika sejumlah aparat keamanan terlibat konflik dengan warga Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Papua medio Desember 2014.
Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, aparat keamanan menganiaya beberapa warga yang memberi peringatan karena mengendarai mobil tanpa lampu.
Esok harinya, warga yang tidak terima rekannya dianiaya itu berunjuk rasa di pusat kota. Ketika berkumpul di Lapangan Karel Gobay, Paniai mereka dihadang aparat keamanan gabungan yang bertugas untuk mengamankan unjuk rasa.
Bentrokan tak bisa dihindarkan, aparat disebut menembakan senjata untuk membubarkan massa. Lima orang meninggal dunia, tiga orang kritis, dan 22 warga terluka pada insiden tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/23/13562581/kontras-pertanyakan-profesionalitas-kejagung-tangani-kasus-paniai