JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan suap yang dilakukan oleh Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin atau Ade Yasin terungkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tim penyidik KPK menangkap Ade yang merupakan adik dari mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin, beserta tiga anak buahnya dan 4 orang dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Jawa Barat pada Rabu (27/4/2022).
Setelah diperiksa dan melakukan gelar perkara, KPK menetapkan 8 orang tersangka termasuk Ade setelah penangkapan. KPK juga menyita uang dalam pecahan rupiah sebesar Rp 1,024 miliar yang diduga untuk menyuap 4 auditor BPK itu.
Ade diduga memerintahkan 3 anak buahnya yakni Sekdis Dinas PUPR Bogor Maulana Adam; Kasubid Kas Daerah BPKAD Bogor Ihsan Ayatullah, dan PPK pada Dinas PUPR Kab. Bogor Rizki Taufik untuk menyuap 4 pegawai BPK supaya mendapatkan predikat audit wajar tanpa pengecualian.
Sebanyak 4 pegawai BPK yang menjadi tersangka penerima suap dalam perkara itu adalah Anthon Merdiansyah selaku Pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Kasub Auditorat Jabar III/Pengendali Teknis, Arko Mulawan selaku pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Ketua Tim Audit Interim Kab. Bogor, Hendra Nur Rahmatullah Karwita selaku pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Pemeriksa, Gerri Ginajar Trie Rahmatullah selaku pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Pemeriksa.
Menurut KPK, laporan keuangan Pemkab Bogor tahun anggaran 2021 jelek dan bisa berdampak terhadap kesimpulan disclaimer. Salah satu penyebabnya adalah auditor BPK menemukan penyimpangan dalam proyek perbaikan jalan Kandang Roda-Pakansari yang masuk dalam program Cibinong City A Beautiful.
Perkara suap dengan modus untuk mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK dalam laporan keuangan bukan kali ini terjadi. Opini itu diburu karena sangat terkait dengan kebutuhan para kepala daerah, kementerian, hingga lembaga supaya organisasi yang mereka pimpin dinilai cakap dalam mengelola dan menyerap anggaran.
Selain itu, status opini WTP dalam laporan juga dinilai mampu mendongkrak citra kepala daerah hingga menteri yang bisa digunakan untuk kepentingan politik.
Celah itu yang digunakan oleh para pejabat pemerintahan daerah hingga kementerian dan auditor BPK. Para penyelenggara negara kemudian bersiasat untuk mengutak-atik laporan keuangan supaya mendapatkan opini WTP dengan imbalan suap kepada auditor.
”Mendapatkan status tersebut dari BPK memang berdampak besar pada lembaga negara atau pemerintah daerah terkait. Kepercayaan publik meningkat, reformasi birokrasi dianggap berhasil sehingga modus suap pun dihalalkan,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Hendri, di Jakarta, Sabtu (27/5/2017).
KPK mengungkap praktik jual beli opini pada 26 Mei 2017, yang melibatkan dua auditor BPK, Ali Sadli dan Rochmadi Saptogiri. Kasus itu terkuak dalam operasi tangkap tangan.
Ali dan Rochmadi menerima suap masing Rp 240 juta dan Rp 200 juta supaya memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes tahun anggaran 2016.
Duit sogokan itu diberikan oleh eks Irjen Kemendes PDTT Sugito dan Kepala Bagian Tata Usaha Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo.
Dalam perkara itu, Ali Sadli divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 4 bulan kurungan pada Maret 2018.
Sedangkan Rohmadi dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Kasus suap terhadap auditor BPK untuk mendapatkan opini WTP juga terjadi pada 2010 silam. Dikutip dari Kompas.id, saat itu dua auditor dari BPK Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto, ditangkap.
Enang dan Suharto kemudian diadili dan dijatuhi vonis 4 tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp 400 juta dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dengan maksud memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Bekasi Tahun 2009.
Pada 2016, bekas auditor BPK Sulawesi Utara, Bahar, dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara. Dia disebut pernah meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemkot) hampir di seluruh Sulawesi Utara.
Para pejabat pemkab atau pemkot yang laporan keuangannya diloloskan dimintai uang bervariasi hingga mencapai jumlah Rp 1,6 miliar.
Dalam sidang perkara kartu tanda penduduk elektronik, salah seorang auditor BPK bernama Wulung juga disebut menerima uang Rp 80 juta. Seusai penerimaan uang tersebut, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mendapat status WTP pada 2011.
Sebagian dari artikel ini sudah tayang di Kompas.id pada 27 Mei 2017 dengan judul, "Jual-Beli Status WTP BPK, dari Puluhan Juta hingga Miliaran Rupiah."
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/28/12263151/suap-bupati-bogor-ade-yasin-dan-deretan-kasus-jual-beli-wtp-bpk