Kritik tersebut datang dari peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sejak BRIN belum terbentuk, para peneliti yang bernaung di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu kerap menyuarakan bahwa masalah di Papua tak bisa dibereskan dengan pendekatan senjata.
Namun, pemekaran wilayah dinilai justru bakal membawa konsekuensi otomatis berupa penambahan pasukan bersenjata.
“Pemekaran berpotensi berfungsi sebagai teknologi kekerasan karena dikhawatirkan akan terjadi remiliterisasi (melalui) kodam-kodam baru, pembentukan lembaga-lembaga keamanan baru, dan lain-lain,” ujar Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (P2W BRIN) Cahyo Pamungkas dalam diskusi daring yang dihelat Public Virtue Institute, Rabu (27/4/2022).
Cahyo menegaskan, kehadiran pasukan militer dalam jumlah masif sebagai konsekuensi tak terelakkan dari pemekaran wilayah tersebut tidak tepat bagi masyrakat yang pernah mengalami konflik serta pelanggaran HAM dengan aparat.
Masih ada rentetan kasus pelanggaran HAM di Papua, termasuk yang berskala berat, yang hingga sekarang belum diselesaikan dengan cara yang adil.
Hingga kini, baru kasus pelanggaran HAM berat Paniai (2014) yang relatif berprogres secara hukum. Dalam kasus itu, Kejaksaan Agung telah menetapkan anggota TNI sebagai tersangka.
Sementara itu, tiga provinsi baru yang direncanakan DPR RI di Papua berada di sekitar kawasan yang selama ini jadi lokasi kontak senjata antara TNI dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB), yaitu Pegunungan Tengah, Papua Tengah, dan Papua Selatan.
“Kita lihat di Papua sekarang ini sebagian masyarakat, terutama di Pegunungan Tengah, masih mengalami memori kolektif tak tertuliskan tentang kekerasan dan penderitaan di masa lalu. Ketika mereka melihat aparat keamanan berseragam, mereka mengalami trauma psikologis terhadap kekerasan yang dialami, baik masa lalu maupun sekarang,” kata Cahyo.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fitriani mengungkapkan hal senada.
“Pembentukan provinsi baru dan dibentuknya Kodam baru akan menghadirkan kekhawatiran, ketakutan dan kesalahpahaman baru yang mungkin tidak dicita-citakan pemerintah yang ingin membentuk sebuah tata kelola yang lebih rapi,” ujar Fitriani dalam kesempatan yang sama.
Terlebih, rencana pembentukan 3 provinsi baru ini dihujani penolakan dari orang-orang Papua.
Rencana pemekaran wilayah yang diputuskan secara sepihak tanpa partisipasi orang Papua memperberat penolakan tersebut.
Karena, sejak awal, masalah rumit di Papua memang tak bisa diselesaikan melalui jalan pintas lewat kucuran uang pemekaran wilayah, tetapi melalui proses-proses dialog jangka panjang, penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan rekonsiliasi yang berkeadilan.
“Kita harus mengakui, bagaimanapun jika pemekaran berlangsung terlalu cepat tanpa konsultasi, dan tanpa kesiapan di tingkat daerah, itu dapat meningkatkan ketidakamanan, keresahan, dan mungkin kekerasan-kekerasan dan konflik-konflik baru,” ucap Fitriani.
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/27/19524961/pembentukan-provinsi-baru-di-papua-dinilai-perburuk-situasi-kemanusiaan