Salin Artikel

Saat KPU Dikhawatirkan Bakal Dirusak untuk Jadi Alat Tunda Pemilu 2024...

JAKARTA, KOMPAS. com - Wacana penundaan Pemilu 2024 memunculkan kekhawatiran tersendiri, terutama bagi penyelenggara pemilu, untuk kelak dijadikan alat guna menggolkan wacana ini.

Pasalnya, penundaan Pemilu 2024 yang berimplikasi terhadap perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo itu, tidak mungkin terealisasikan tanpa mengamandemen konstitusi negara.

Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengungkap, setidaknya ada dua skenario yang mungkin terjadi untuk memperpanjang masa jabatan tersebut.

Pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu, dijadikan alat oleh para elite politik yang mendukung perpanjangan masa jabatan presiden untuk memuluskan wacana mereka.

Diketahui, ada dua anak buah Jokowi yang mewacanakan hal ini, yakni Menteri Koordinator bidang Perekonomian yang juga Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Selain itu, di jajaran partai politik pendukung pemerintah, ada nama Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang turut mendukung wacana tersebut.

"Saya akhir-akhir ini agak khawatir dengan ide KPU yang dirusak atau kalau KPU entah rusak atau merusak dirinya, kemudian bisa menunda atau kemudian menyerah tidak akan melanjutkan proses tahapan Pemilu," kata Zainal dalam webinar "Demokrasi Konstitusional dalam Ancaman", Rabu (16/3/2022).

Menurut dia, ada kekhawatiran bahwa KPU akan menjadi alat untuk menciptakan kondisi yang seakan-akan obyektif, rasional, serta konstitusional untuk melakukan amandemen atas aturan masa jabatan atau proses pelaksanaan pemilu yang tertuang dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945.

Skenario kedua, yakni munculnya pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo yang mengusulkan agar sistem pemilihan umum secara langsung dikaji ulang.

"Jadi presiden bisa tidak lagi dipilih secara langsung, tapi kemudian bisa dipilih melalui MPR karena kemudian presiden harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) ke MPR. Ini tidak aneh juga, karena Pak Bambang Soesatyo mengungkapkan itu beberapa hari yang lalu," kata Zainal.

Jadi godaan terbesar Jokowi

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi godaan terbesar yang akan dihadapi Presiden Jokowi, yang memimpin pemerintahan dengan sistem presidensial.

Godaan itulah yang kemudian membuat masa jabatan presiden penting untuk diatur di dalam konstitusi. Dalam hal ini, berdasarkan UUD 1945, seorang presiden dapat memimpin selama lima tahun dan dapat kembali dipilih satu kali.

"Presiden Jokowi harus menyadari godaan terbesar presiden di dalam sistem presidensial itu adalah masa jabatan. Sebabnya presiden memegang kekuasaan pemerintahan, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dua puncak kekuasaan itu dinisbahkan ke dirinya," kata Feri.

"Berbeda di dalam sistem parlementer yang memisahkan kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," jelas Feri.

Feri menjelaskan, sebenarnya godaan untuk memperpanjang masa jabatan tak hanya dialami Jokowi.

Hal serupa juga dihadapi presiden-presiden pendahulunya, seperti Presiden Soekarno yang tergoda menjadikan dirinya presiden seumur hidup, meski pada realisasinya ia menjabat selama 21 tahun.

Selain itu juga Presiden Soeharto di masa Orde Baru yang menjabat sebagai presiden selama enam periode atau 32 tahun.

"Jadi memang godaan presiden memperpanjang masa jabatannya, ini sedang merasuki Jokowi. Dia memilih taat tunduk konstitusi atau mencoba melawan konstitusi mengikut hasratnya memperpanjang masa jabatan dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh konstitusi," papar Feri

"Persis alasan Pak Harmoko terhadap Soeharto, katanya rakyat masih cinta, rakyat yang mana kita tidak tahu," lanjutnya.

Didesak segera bahas anggaran

Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay pun mempertanyakan keseriusan pemerintah dan DPR RI dalam mendukung pelaksanaan Pemilu 2024.

Pasalnya, hingga saat ini belum ada kepastian mengenai alokasi anggaran untuk menjalankan proses pemilu.

"Ada pihak yang menyatakan menunggu KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) terbentuk dalam tiga minggu lagi. Ini kelihatan sebetulnya, kenapa tidak sekarang? Jadi tanda tanya besar, serius enggak sih mereka mau sukseskan pemilu kita ini?" kata eks komisioner KPU tersebut.

DPR sendiri telah menetapkan nama-nama anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 sejak 16 Februari 2022.

Namun, hingga saat ini, belum ada tanggal pasti mengenai pelantikan para anggota KPU-Bawaslu terpilih tersebut oleh Presiden Joko Widodo. Hanya saja, tenggat waktu pelantikan jatuh pada 11 April 2022 mendatang.

Hadar pun mengatakan, pembahasan anggaran yang tak kunjung dilakukan bisa menjadi celah bagi penundaan pelaksanaan Pemilu 2024.

"Banyak hal sebetulnya juga bisa membuat situasi akhirnya pemilu tidak bisa terlaksana, misalnya penyelenggaraan yang sifatnya berantakan, tidak disiapkan dengan baik, dananya tidak cukup tidak jelas kapan turunnya," ujar dia.

Anggaran menjadi krusial lantaran berkaitan dengan pembahasan Peraturan KPU yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 2024.

"Kepastian dana dan keberadaan PKPU itu juga sangat bergantung pada DPR dan pemerintah di mana mereka penentu. Proses peraturannya dibuat oleh penyelenggara pemilu, tetapi harus konsultasi (dengan pemerintah dan DPR)," ujar Hadar.

"Kalau mereka sendiri tidak cukup serius memproses dan menetapkan dana ini dan mengalokasikan waktu untuk konsultasi, ini menjadi tanda tanya besar untuk kita semua," jelas dia.

https://nasional.kompas.com/read/2022/03/17/08322331/saat-kpu-dikhawatirkan-bakal-dirusak-untuk-jadi-alat-tunda-pemilu-2024

Terkini Lainnya

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke