JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah Pemerintah untuk menuju masa transisi Covid-19 mulai dilakukan. Salah satunya adalah dengan membebaskan masyarakat yang melakukan perjalanan darat, laut, dan udara yang sudah melaksanakan vaksin dosis pertama hingga ketiga (booster) dari kewajiban melakukan tes antigen dan PCR yang menyatakan negatif Covid-19.
Keputusan itu mulai berlaku pada 8 Maret 2022, dan tercantum dalam Surat Edaran (SE) Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 11 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi Covid-19.
Akan tetapi, peraturan itu menuai beragam tanggapan. Menurut Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban, kebijakan pemerintah yang menghapus syarat tes antigen dan PCR negatif bagi pelaku perjalanan domestik mesti diawasi dengan ketat dan dievaluasi.
Zubairi mengatakan, pemerintah harus mencabut kebijakan itu apabila sewaktu-waktu terjadi lonjakan kasus Covid-19.
"Dilakukan dengan pemantauan ketat, jadi kalau misalnya angka harian naik atau angka bed occupancy rate RS di kota-kota itu naik, kebijakan itu segera dicabut," kata Zubairi saat dihubungi Kompas.com, Senin (7/3/2022) kemarin.
Menurut Zubairi, walau saat ini laju kasus Covid-19 mengalami penurunan, tetapi penularan virus corona dari berbagai varian termasuk Omicron masih terjadi. Bahkan infeksi itu bisa berujung pada kematian.
Zubairi mengatakan, meski syarat perjalanan domestik dilonggarkan, masyarakat harus tetap menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak aman untuk mencegah penularan virus.
"Jadi tolong ini perlu monitor dan perlu dicatat walau kasus Covid-19 sudah turun, tetap ada pasien yang meninggal, 200 orang meninggal tidak sedikit dan ini tidak nyaman kan," ujar Zubairi.
Harus diuji
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman juga memperingatkan kebijakan pemerintah menghapus tes PCR dan antigen bagi penumpang moda transportasi darat, laut, dan udara bagi masyarakat yang sudah mendapatkan tiga kali dosis vaksin Covid-19. Menurut dia justru tes adalah salah satu cara untuk melihat sejauh mana efektivitas langkah Pemerintah dan penyebaran Covid-19 di tengah masyarakat.
“Tes ibarat mata kita terhadap virus. Tanpa tes yang memadai kita tidak dapat melihat di mana virus atau ke mana arahnya,” tutur Dicky pada Kompas.com, Senin (7/3/2022) kemarin.
Menurut Dicky kebijakan tes itu bisa dihilangkan sebagai syarat perjalanan. Akan tetapi, polanya diubah dengan sifat orientasi sasaran atau pengamatan pada satu wilayah tertentu.
“Sebaiknya ada uji publik dulu untuk melihat potensinya. Setidaknya (testing) di satu lokasi selama satu minggu supaya memiliki dasar data yang kuat dalam konteks (kondisi penyebaran Covid-19) di Indonesia,” ujar Dicky.
Dicky berharap pemerintah tidak tergesa-gesa dengan meniadakan tes PCR dan antigen untuk masyarakat yang sudah menjalani tiga kali vaksinasi untuk melakukan perjalanan darat, laut, dan udara. Sebab menurut dia vaksinasi tidak bisa menggantikan tes untuk mengetahui tingkat penyebaran Covid-19.
“Dunia sudah memiliki vaksin (Covid-19), tapi itu tidak berarti kita berhenti dalam upaya untuk melihat di mana virus itu berada sehingga kita dapat beradaptasi dengan cepat jika dan ketika varian atau gelombang baru merebak,” ucap Dicky.
Wewenang WHO
Dicky mengatakan pemerintah tidak bisa secara sepihak mengubah status pandemi Covid-19 menjadi endemi. Sebab menurut dia yang berwenang akan hal itu hanya Organisasi Kesehatan Dunia.
Ketentuan itu mengikat seluruh negara lantaran tercantum dalam konvensi internasional berupa International Health Regulation (IHR).
"Itu hanya bisa berubah kalau WHO mencabut (statusnya). Jadi (kalau) negara-negara mau menyatakan ini endemi, statusnya tetap secara de facto, de jure, dari sisi global ya masih pandemi," ucap Dicky.
Selain itu, Dicky berharap kebijakan itu tidak didasarkan hanya karena alasan ekonomi dan politik. Sebab menurut dia saat ini Indonesia masih mengalami pandemi dan belum masuk ke tahap endemi.
Salah satu indikator endemi, kata Dicky, adalah jika angka reproduksi Covid-19 di bawah 1. Sementara, kasus virus corona di Indonesia saat ini belum mencapai angka tersebut. Selain itu, hingga kini, kasus Covid-19 harian di tanah air pun masih terus bertambah dalam jumlah besar.
Dicky juga menekankan supaya pemerintah tak terburu-buru dalam mengambil langkah, apalagi secara sepihak mengubah status pandemi jadi endemi.
"Bukan seperti itu, karena kalau ke arah seperti itu kita akan berbahaya, akan memaksakan diri ketika situasi belum terkendali atau dianggap memadai atau aman," ujar Dicky.
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/08/19124631/wanti-wanti-lonjakan-kasus-pasca-aturan-pcr-antigen-dicabut