JAKARTA, KOMPAS.com - Erfaldi (31) meninggal dunia usai terkena tembakan aparat yang membubarkan aksi unjuk rasa menolak tambang di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Sabtu (12/2/2022).
Aksi unjuk rasa itu terpaksa dibubarkan karena massa telah memblokir Jalan Trans Sulawesi di Desa Siney, Kecamatan Tinombo Selatan.
Adapun demonstrasi itu dilakukan untuk menentang keberadaan lokasi pertambangan. Massa memprotes Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trio Kencana.
Pihak kepolisian baik dari Polda Sulteng maupun Mabes Polri telah merespon adanya dugaan penembakan yang dikakukan anggotanya.
Kapolda Sulteng Irjen Pol Rudy Sufahriadi menyampaikan permintaan maafnya pada keluarga korban, Minggu (13/2/2022).
Menyusul sikap Mabes Polri, Senin (14/2/2022) melalui Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo yang menyebut akan menindak anggota kepolisian yang terbukti terlibat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun turun tangan melakukan penyelidikan.
Temuan awalnya menyebutkan Erfaldi tertembak dari bagian belakang.
Peluru menembus ke dada
Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah Dedi Askary mengatakan telah menemui sejumlah pihak untuk mengumpulkan informasi tentang meninggalnya Erfaldi.
Salah satunya adalah Puskesmas Katulistiwa yang melakukan visum pada jenazah korban.
Dedi mengungkapkan hasil visum menunjukan Erfaldi tertembak dari bagian belakang, lalu menembus hingga ke dada.
“Erfaldi meninggal karena peluru tajam dari aparat yang mengenai bagian belakang sebelah kiri tembus di bagian dada,” sebutnya dalam keterangan tertulis.
“Ini terlihat dari kondisi luka sebagaimana yang dijelaskan oleh pihak Puskesmas Katulistiwa saat lakukan visum dan mengangkat proyektil yang tersisa dan hinggap di bagian tubuh korban,” ungkap Dedi.
Polisi didesak segera lakukan uji balistik
Dedi meminta pihak kepolisian segera memberikan langkah konkret untuk mencari pelaku penembakan yang diduga merupakan anggotanya sendiri.
Ia mendesak Polda Sulteng segera melakukan uji balistik.
Dalam pandangannya, uji balistik penting dilakukan untuk membandingkan anak peluru yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dengan anak peluru yang dicurigai.
“(Sehingga) akan menentukan siapa pelaku penembakan dan dari jarak tembak berapa pelaku melepaskan tembakan,” katanya.
Dedi pun menegaskan komitmen Komnas HAM turut membantu pengungkapan perkara ini. Namun dengan catatan semua pihak mau menahan diri agar tidak terjadi konflik susulan.
“Semua pihak utamanya pihak keluarga dan simpul-simpul massa aksi dari desa-desa yang ada di Kecamatan Kasimbar dan Tinombo Selatan mau menahan diri, dan mengambil langkah cooling down,” tutur dia.
Polisi dinilai cuci tangan
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai ada upaya cuci tangan atau sikap tak bertanggung jawab yang ditunjukan pihak kepolisian.
Kepala Kampanye Jatam Melky Nahar mengatakan sikap itu ditunjukan dengan permintaan maaf Kapolda Sulteng pada keluarga korban sembari menyampaikan hendak mendorong penegakan hukum untuk kedua belah pihak.
Melky menyebut permintaan maaf itu menjadi indikasi bahwa pihak kepolisian ingin menyalahkan oknum tertentu dalam insiden penembakan itu.
“Seolah-olah kejadian penembakan massa aksi hingga tewas itu hanya kesalahan personal terduga pelaku, bukan bagian dari masalah institusi yang tidak becus dalan menangani massa aksi,” paparnya.
Sementara itu, lanjut Melky, rencana Polda Sulteng menindak massa aksi digunakan untuk menghindari pokok permasalahan yang ada.
“Yaitu izin tambang yang terbit tanpa sepengetahuan dan ditolak warga, juga janji Gubernur Sulteng untuk menemui massa aksi yang tidak ditepati,” ucap dia.
Kekerasan di wilayah tambang
Melky menuturkan tindak kekerasan kerap menerpa masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar wilayah pertambangan.
Umumnya kekerasan menjadi jalan keluar untuk membungkam perlawanan warga atas aktivitas penambangan itu.
“Di mana pun tambang hadir dan beroperasi, kekerasan adalah salah satu pola yang selalu digunakan untuk menekan resistensi warga,” imbuh dia.
Dalam kacamatanya, kekerasan itu kerap melibatkan aparat keamanan, preman sampai organisasi masyarakat (ormas) setempat.
Aktor kekerasan, sambung Melky, digerakkan oleh perusahaan tambang.
Maka ia meminta pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh. Tak hanya berkutat pada pencabutan izin tambang yang bermasalah.
Lebih dari itu, memperhatikan adanya potensi masalah pada pendirian lokasi tambang antara lingkungan, masalah hingga perusahaan.
Tanpa evaluasi menyeluruh, masyarakat akan terus menjadi korban dalam konflik persoalan tambang.
“Selama ini warga di daerah lingkar tambang terus jadi korban, sebagian besar dikriminalisasi menggunakan Undang-Undang Minerba, terutama Pasal 162 soal tindak pidana menghalang-halangi aktivitas perusahaan,” imbuh dia.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/15/10320951/pembubaran-unjuk-rasa-penolak-tambang-di-parigi-moutong-yang-berujung