JAKARTA, KOMPAS.com - E Ramos Petege mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia merupakan seorang warga beragama Katolik yang sebelumnya gagal menikahi kekasihnya lantaran beragama Islam. Dalam gugatannya, Ramos Petege menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.
Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 17/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022 pada 4 Februari 2022.
Menurut Ramos Petege, syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974 memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan.
Namun, UU tidak memberikan pengaturan jika perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.
"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon, sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodasi negara," kata Ramos Petege dalam gugatan yang diajukan ke MK, dikutip Kompas.com, Selasa (8/2/2022).
Ramos Petege menyatakan, hal ini telah menyebabkan dirinya kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaannya karena jika mau melaksanakan perkawinan maka salah satu pihak harus menundukkan keyakinan.
Selain itu, menurut dia, kemerdekaannya untuk melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas juga hilang.
Ramos Petege pun berpendapat, Pasal 2 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Adapun bunyi Pasal 2 Ayat (1) yaitu perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Kemudian, Ayat (2) berbunyi, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, Pasal 8 huruf f menyatakan, perkawinan dilarang antara dua orang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Karena itu, Ramos Petege meminta kepada majelis hakim untuk menyatakan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak lagi relevan dalam mengakomodasi kebutuhan penegakan hak asasi manusia (HAM), khususnya dalam hal kemerdekaan untuk memeluk agama, adanya jaminan terhadap kepastian hukum, kesetaraan serta kesamaan kedudukan di mata hukum dan pemerintah, serta kewenangan individu untuk membentuk keluarga dan memiliki keturunan melalui suatu perkawinan yang sah.
Ramos Petege juga meminta agar majelis hakim menyatakan Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak dapat dan tidak memiliki pengaturan terhadap perkawinan beda agama. Dia pun meminta agar ada aturan tambahan dalam pasal tersebut, yaitu sebagai berikut:
Pasal 2 Ayat (1)
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 2 Ayat (2)
Perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaannya dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan.
Pasal 2 Ayat (3)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/08/12111101/batal-menikah-karena-beda-agama-seorang-pria-gugat-uu-perkawinan-ke-mk