Salah satu alasannya, karena dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi publik yang maksimal sebagai salah satu syarat pembentukan UU yang baik.
"Menimbang bahwa seluruh pertimbangan hukum di atas oleh karena terhadap tata cara pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar serta sistematika pembentukan undang-undang," kata hakim konstitusi Suhartoyo dalam sidang yang disiarkan secara daring, Kamis (25/11/2021).
Menurut MK, terjadi perubahan penulisan terhadap subtansi terkait persetujuan bersama DPR dan presiden, dan bertentangan dengan asas-asas peraturan perundang-undangan.
"Maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11/2020 adalah tidak memiliki ketentuan berdasarkan Undang-Undang 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil," ucap dia.
Terkait asas keterbukaan, Mahkamah menilai, memang benar pembentuk undang-undang sudah melakukan beberapa pertemuan dengan kelompok masyarakat.
Namun, pertemuan itu belum membahas naskah akademik dan materi perubahaan yang akan dimuat dalam UU Cipta Kerja.
"Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat," kata hakim Suhartoyo.
"Padahal berdasarkan Pasal 96 Ayat 4 Undang-Undang 12/2011 akses terhadap Undang-Undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis," ujarnya.
Selain itu, dalam pertimbangannya, Mahkamah juga menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.
Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja inkostitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkostitusional bersyarat secara permanen.
Adapun perkara itu diajukan oleh lima penggugat terdiri dari seorang karyawan swasta bernama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, seorang pelajar bernama Novita Widyana, serta 3 orang mahasiswa yakni Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana dan Ali Sujito.
Sebagai pemohon I, Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas khawatir berlakunya UU Cipta kerja dapat menghapus ketentuan aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Kerugian hak konstitusional Hakiimi antara lain seperti terpangkasnya waktu istirahat mingguan, menghapus sebagian kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh, menghapus sanksi bagi pelaku usaha yang tidak bayar upah.
Kemudian, pemohon II yakni Novita Widyana yang merupakan pelajar, merasa dirugikan karena setelah lulus ia berpotensi menjadi pekerja kontrak tanpa ada harapan menjadi pekerja tetap.
Sementara pemohon III, IV dan V yang merupakan mahasiswa di bidang pendidikan Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana dan Ali Sujito merasa dirugikan karena sektor pendidikan masuk dalam UU Cipta Kerja.
Mereka menilai dengan masuknya klaster pendidikan di UU Cipta Kerja bisa membuat pendidikan menjadi ladang bisnis.
https://nasional.kompas.com/read/2021/11/25/18241731/putusan-mk-uu-cipta-kerja-harus-dinyatakan-cacat-formil