Hal diungkapkan dalam sidang putusan uji formil UU Cipta Kerja di MK yang disiarkan secara daring, Kamis (24/11/2021).
"Model penyederhanaan undang-undang yang dilakukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 menjadi sulit dipahami apakah merupakan undang-undang baru, undang-undang perubahan atau undang-undang pencabutan," kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Wahiduddin menjelaskan, memang Indonesia pernah melakukan penggabungan terkait. Salah satunya yakni dengan munculnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Namun, karakter metode omnibus law dalam UU Cipta Kerja berbeda dengan pembentukan UU 32/2004 dan UU 7/2017.
"Hal tersebut telihat dari jumlah undang-undang yang dilakukan penyederhanaan yaitu berjumlah 78 undang-undang dengan materi muatan yang saling berbeda satu sama lain," ujar dia.
Oleh karena perbedaan tersebut majelis mengaku sulit memahami apakah UU Cipta Kerja adalah UU baru, UU perubahan atau UU pencabutan.
Mahkamah juga menilai dalam pembentukannya UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan pada publik.
Meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak, namun dianggap belum sampai pada tahap subtansi UU.
Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.
Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja inkostitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkostitusional bersyarat secara permanen.
Selain itu, Mahkamah juga menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.
Perkara itu diajukan oleh lima penggugat terdiri dari seorang karyawan swasta bernama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, seorang pelajar bernama Novita Widyana, serta 3 orang mahasiswa yakni Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana dan Ali Sujito.
Sebagai pemohon I, Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas khawatir berlakunya UU Cipta kerja dapat menghapus ketentuan aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Kerugian hak konstitusional Hakiimi antara lain seperti terpangkasnya waktu istirahat mingguan, menghapus sebagian kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh, menghapus sanksi bagi pelaku usaha yang tidak bayar upah.
Kemudian pemohon II yakni Novita Widyana yang merupakan pelajar, merasa dirugikan karena setelah lulus ia berpotensi menjadi pekerja kontrak tanpa ada harapan menjadi pekerja tetap.
Sementara pemohon III, IV dan V yang merupakan mahasiswa di bidang pendidikan Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana dan Ali Sujito merasa dirugikan karena sektor pendidikan masuk dalam UU Cipta Kerja.
Mereka menilai dengan masuknya klaster pendidikan di UU Cipta Kerja bisa membuat pendidikan menjadi ladang bisnis.
https://nasional.kompas.com/read/2021/11/25/16514761/mk-uu-cipta-kerja-sulit-dipahami-ini-uu-baru-perubahan-atau-pencabutan