BEM UI berharap, melalui Permendikbud Ristek 30/2021 para korban dapat bersuara dan kekerasan seksual di dunia pendidikan dapat dihentikan.
"Permendikbud 30 adalah harapan kami untuk tetap bertahan hidup," tulis BEM UI dalam akun media sosial Twitter @BEMUI_Official, Senin (17/11/2021).
Kompas.com telah mendapatkan izin BEM UI untuk mengutip keterangan yang disampaikan di media sosial itu.
BEM UI menilai fokus aturan ini adalah terkait perlindungan kepada korban kekerasan seksual, pemulihan hak korban, dan bagaimana korban harus diperlakukan.
Lebih lanjut, BEM UI juga menyorot frasa "persetujuan korban" dalam Permendikbud Ristek tersebut yang sempat menuai kontroversi publik.
Adapun, sebagian pihak beranggapan frasa "persetujuan korban" itu terkesan melegalkan seks bebas.
BEM UI pun menganalogikan, logika dari "frasa persetujuan korban berarti memperbolehkan zina" dengan premis "menggunakan helm berarti boleh kebut-kebutan".
Sebab, menurut dia, salah satu alasan muncul peraturan harus memakai helm karena banyaknya pengendara motor yang mengalami luka kepala saat kecelakaan.
"Untuk mencegah dan mengurangi angka kematian atau cedera kepala karena kecelakaan bermotor, aturan wajib mengenakan helm dibuat," tulisnya.
Selain itu, BEM UI juga mencontohkan soal Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/4/2014 Pasal 15 terkait batas minimum usia konsumsi aliohol.
Dalam aturan itu dituliskan, minuman beralkohol hanya dapat dikonsumsi oleh konsumen yang sudah berusia 21 tahun atau lebih dengan menunjukan KTP kepada petugas atau pramuniaga.
Menurut BEM UI, aturan soal minuman beralkohol ini juga tidak berarti bahwa semua orang berusia 21 tahun ke atas meminum alkohol.
"Itu (persetujuan korban) bukan untuk melegalisasi seks bebas, tetapi untuk menekankan bahwa selama ini banyak kasus kekerasan seksual yang dianggap sebagai kejadian suka sama suka sehingga lolos dan tidak ditindak sebagaimana mestinya."
Selain itu, BEM UI menekankan, dalam penyelesaian kasus hukum seperti kekerasan seksual, konsep persetujuan seksual dihadirkan untuk melihat seberapa timpang relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Selain itu, persetujuan tersebut dihadirkan karena masih banyak orang atau alat penegak hukum yang tidak berperspektif korban dan kerap menanyakan pertanyaan tidak masuk akal kepada korban kekerasan seksual, seperti kenapa korban tidak lari, kenapa korban diam, dan korban pasti menikmatinya.
"Persetujuan seksual mengajarkan seseorang untuk memahami bahwa tidak artinya tidak, dan iya artinya iya. Semua keputusan harus diutarakan dengan jelas tanpa tekanan," ujarnya.
https://nasional.kompas.com/read/2021/11/17/10472361/bem-ui-dukung-permendikbud-30-berharap-kekerasan-seksual-dihentikan-dan