Peneliti ICW Wana Alamsyah mengungkapkan, putusan itu semakin mendegradasi upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
“Dalam laporan tren vonis yang dilansir ICW, pada tahun 2020 rata-rata vonis yang diterima terdakwa kasus korupsi hanya sebesar 3 tahun 1 bulan,” ucap Wana dalam orasinya di depan Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (8/11/2021).
Adapun MA mengabulkan permohonan uji materi PP No 99 Tahun 2012 pada pasal pengetatan remisi koruptor.
MA mencabut Pasal 34 A Ayat (3), Pasal 43 A Ayat (1), dan Pasal 43 A Ayat (3) PP Nomor 99 Tahun Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dengan putusan itu, syarat pemberian remisi untuk narapidana tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika tidak lagi dibedakan dengan tindakan pidana lainnya.
Wana juga menyebut, putusan itu akan menambah catatan buruk pemberantasan korupsi di Indonesia.
Efek lainnya, para koruptor tidak akan merasa jera untuk melakukan tindakan korupsi.
“Maka bisa dibilang permasalahannya bukanlah pada pengetatan syarat pemberian remisi, melainkan penegakan hukum,” ucap dia.
Selain itu, menurut Wana, perbedaan syarat pemberian remisi diperbolehkan oleh UUD 1945.
“Konsep itu tertera dalam Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang,” kata dia.
“Adanya perbedaan syarat dalam pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana,” ucap Wana.
Adapun MA mengabulkan uji materi yang diajukan oleh lima narapidana di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Uji materi itu terkait PP No 99 Tahun 2012 pada Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Tiga hakim MA yaitu Supandi, Yodi Martono, dan Is Sudaryono menyampaikan beberapa alasan pengabulan pencabutan pasal pengetatan remisi koruptor.
Pertama, pemidanaan tidak hanya dilakukan dengan memenjarakan pelaku agar memberikan efek jera. Namun, harus sejalan dengan prinsip restorative justice.
Kedua, narapidana adalah subyek yang sama dengan manusia lainnya, yaitu dapat berbuat khilaf.
Oleh karena itu, menurut hakim, yang mesti diberantas bukan narapidananya, melainkan faktor-faktor yang menyebabkan tindak pidana itu terjadi.
Ketiga, persyaratan mendapatkan remisi tidak boleh dibeda-bedakan.
Jika tidak, menurut hakim, hal itu dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta mesti mempertimbangkan overcrowded.
Hakim MA juga meminta agar syarat pemberian remisi di luar syarat pokok mestinya menjadi hak remisi di luar hak hukum yang telah diberikan.
Sebab, fakta hukum yang terjadi di persidangan, termasuk ketidakjujuran terdakwa untuk mengakui perbuatannya dan keterlibatan pihak lain dalam perkara telah menjadi pertimbangan hakim untuk memberatkan hukuman pidana.
Terakhir, hakim MA memandang bahwa pemberian remisi merupakan kewenangan lembaga pemasyarakatan (lapas).
https://nasional.kompas.com/read/2021/11/08/18075331/kritik-ma-yang-cabut-pp-pengetatan-remisi-koruptor-icw-rata-rata-vonis