Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian PPPA Ciput Eka Purwianti mengatakan, salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menghadirkan sistem pendidikan positif, aman, dan nyaman bagi anak.
Apalagi, pandemi Covid-19 telah memperparah kerentanan dan meningkatkan resiko anak mengalami berbagai tindak kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual.
"Upaya penghapusan kekerasan terhadap anak tidak bisa ditunda sehingga dalam melindungi anak dari ancaman kekerasan, membutuhkan sinergi semua pemangku kepentingan melalui pelaksanaan sistem perlindungan anak yang terintegrasi," kata Ciput, dikutip dari siaran pers, Rabu (3/11/2021).
Ciput mengatakan, untuk memastikan tidak adanya anak yang tertinggal (leaving no child behind) dan mencapai target 16,2 persen tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), maka dibutuhkan upaya terkoordinasi dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan.
Terutama dalam menjalankan sistem perlindungan anak yang terintegrasi tersebut.
"Sistem ini dapat mengidentifikasi risiko dan kerentanan anak juga orangtua/wali mereka, serta merespons kerentanan tersebut, melalui layanan multisektor yang terintegrasi dan dapat diakses semua pihak,” kata dia.
Ciput mengatakan, pandemi Covid-19 telah berdampak signifikan terhadap kehidupan anak, salah satunya pada bidang pendidikan.
Kebijakan belajar dari rumah pun dinilainya turut meningkatkan risiko anak mengalami kekerasan dan eksploitasi.
Risiko ini mulai dari berada di jalanan, diperdagangkan, berkonflik dengan hukum, hingga dipaksa menikah di usia dini, terutama pada anak perempuan.
Selain itu, ujar dia, kekerasan pun bisa dialami anak di lingkungan sekolah. Antara lain, seperti perundungan dan hukuman fisik yang membuat anak menderita, mempengaruhi kesehatan mental, dan risiko serius lainnya.
"Oleh karena itu, sangat penting mewujudkan lingkungan sekolah maupun lingkungan pendidikan lainnya yang aman dan nyaman, guna memastikan anak terlindungi, dapat belajar dengan optimal, bermimpi dan percaya diri mengejar mimpinya," kata Ciput.
Menurut dia, anak-anak dipengaruhi contoh yang mereka lihat dari interaksi orangtua atau wali, teman sebaya, guru, dan komunitasnya.
Dengan demikian, harus dipastikan bahwa orangtua dan wali memiliki pengetahuan tentang pengasuhan yang baik, para guru yang harus menerapkan disiplin positif atau bukan hukuman fisik, dan masyarakat yang harus berani menentang serta menghentikan praktik salah terhadap anak.
Ciput mengatakan, anak adalah agen perubahan yang berperan penting memutus siklus kekerasan, namun hal tersebut hanya bisa terwujud jika semua pemangku kepentingan bekerja sama sejak dari lingkungan rumah.
"Hal terpenting adalah anak-anak perlu mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya, berani mengatakan tidak dalam kondisi yang membahayakan dirinya, didengarkan suaranya, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait hal-hal yang berdampak pada kehidupannya," ujar dia.
Sayangnya, hingga saat ini kekerasan terhadap anak masih banyak terjadi di Indonesia.
Lebih parahnya, para pelaku merupakan keluarga atau orang terdekat, termasuk orangtua atau guru.
https://nasional.kompas.com/read/2021/11/03/12411251/kementerian-pppa-sistem-perlindungan-terintegrasi-salah-satu-upaya-hapus