Salin Artikel

Wahai Banteng dan Celeng, Bersatulah!

“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya, jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” – Bung Karno

Andai saja kader-kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mau memahami makna pesan dari Proklamator Bung Karno itu, tentu mereka tidak akan saling berbeda pendapat dan mencaci “celeng” untuk pihak lain yang berseberangan.

Banteng tidak boleh jumawa dengan “mencelengkan” pihak yang lain hanya karena memiliki pendapat yang berbeda.

Dukungan sejumlah kader PDIP untuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo agar dicalonkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP sebagai calon presiden justru dianggap Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto telah keluar dari barisan.

Menurt Bambang, mereka ini layak disebut celeng. Kata dia, setiap kader harus menunggu keputusan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputeri. Keputusan soal calon presiden belum diambil.

Salah satu inisiator gerakan pendukung Ganjar Pranowo, yaitu Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Blora Albertus Sumbogo, mengaku siap dipecat dari partai. Menurut Albertus, apa yang dilakukannya hanya sekadar menyampaikan aspirasi masyarakat saja.

Aspirasi tersebut kiranya dapat dijadikan pertimbangan Megawati sebelum memutuskan siapa yang akan disorong sebagai pengganti Joko Widodo (Kompas.com, 12 Oktober 2021).

Sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu Pusat, Bambang Wuryanto dikenal sebagai penyokong utama pencapresan Puan Maharani.

Pemasangan masif baliho “kepak sayap kebhinekaan” Puan Maharani di semua titik lokasi strategis di tanah air tidak lepas dari peran Bambang “Pacul” Wuryanto.

Andai saja semua kader PDIP baik pengusung Ganjar atau pendukung Puan mau memahami selarik pesan Bung Karno di atas, tentu tidak ada lagi dikotomi antara banteng dan celeng. banteng dan celeng tidak boleh saling diadu. Mereka harus didamaikan.

Memahami Puan dan Ganjar yang sama-sama kader terbaik PDIP sebenarnya cukup simpel. Kapasitas Ganjar yang lekat dengan kerja-kerja politik di masyarakat bawah sebagai Gubernur Jawa Tengah cukup mumpuni.

Begitu juga dengan Puan yang kini menjabat sebagai Ketua DPR. Kiprah politik mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ini pun tak kalah mumpuninya.

Anggap saja kedua sosok ini seperti “sayap-sayap” dalam burung yang digambarkan Bung Karno di atas. Kedua sayap itu sama kuatnya, saling melengkapi untuk terbang bersama menuju Indonesia Raya yang adil dan makmur. 

Jika ada salah satu sayap patah maka pincanglah burung itu. Tak bisa terbang.

Sementara pohon beringin berdiri kokoh, burung garuda melesat mengangkasa, bola dunia menggelinding, mobil mercy menderu di jalan, banteng malah saling tanduk dengan celeng.

Jas Merah: Jangan sekali-kali melupakan sejarah

Andai saja Soerjadi, Butu Hutapea, atau Fatimah Achmad bisa menyaksikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekarang, tentu mereka menyadari langkah-langkah politik yang mereka tempuh dulu untuk “berseberangan jalan” dengan PDI Pro Megawati pada 1997 adalah kefatalan politik. 

Meskipun ketiganya mendapat dukungan dari rezim Soeharto, namun berkonflik dengan kekuatan mayoritas dalam partai yang mendapat dukungan akar rumput pasti menghasilkan perpecahan kronis di dalam partai.

Namun, meskipun berkonflik hebat, tak pernah sekalipun Megawati menyebut Soerjadi cs dengan sebutan celeng. 

Justru Presiden Soeharto yang menyebut istilah “setan gundul” untuk kelompok PDI Pro Megawati.

Di era reformasi, konflik internal juga pernah terjadi pada Kongres PDIP di Semarang, Jawa Tengah tahun 2000

Saat itu Prof Dimyati Hartono dan Eros Djarot secara terbuka mengumumkan diri sebagai sekretaris jenderal partai untuk mengurangi beban tanggungjawab yang disandang Megawati.

Tradisi ini begitu mengagetkan karena PDIP tidak terbiasa dengan deklarasi “terbuka”menuntut jabatan partai. Akibatnya, Dimyati dan Eros tersingkir dari partai.

Dimyati Hartono yang kecewa mendirikan Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA) dan Eros yang galau membesut Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK).

Baik Dimyati, Eros atau Kwik Kian Gie kalah pamor dengan menguatnya poros Sutjipto, Pramono Anung, dan Gunawan Wirosaroyo (The Gang of Three) di lingkaran elite partai.

Hasil Pemilu 2004, PNBK meraup 1.230.455 suara atau 1,08 persen sementara PDIP 21.026.629 suara atau 18,53 persen. Golkar menjadi pemenang Pemilu 2004 dengan 21,58 persen atau 24.480.757 suara. PITA tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2004.

Hasil Pemilu 2004 ini menunjukkan raihan suara PDIP merosot tajam dibandingkan Pemilu 1999. Saat itu PDIP menjadi jawara dengan 35.689.073 suara atau 33,74 persen. Sedangkan Golkar menguntit di nomor dua dengan raihan suara 23.741.749 atau 22,44 persen.

Kekecewaan sejumlah kader PDIP saat pelaksanaan Kongres II di Bali pada 2005 yang memunculkan Gerakan Pembaharuan PDIP yang menuntut modernisasi partai hendaknya dijadikan pelajaran sejarah.

Konflik internal yang terjadi di PDIP bukan sebuah peristiwa tunggal dalam sejarah kepartaian di tanah air. Di partai politik manapun pasti ada kecenderungan munculnya faksi-faksi. 

Saya selalu teringat ketika diminta langsung oleh Megawati di lokasi Kongres II di Kawasan Kuta, Bali untuk “menyusup” ke kubu pendukung Gerakan Pembaharuan PDIP yang tengah berkonsolidasi di sebuah hotel di Kawasan Sanur, Bali.

Mungkin Megawati tahu betul kalau saya adalah mantan wartawan sehingga dianggap bisa menyelinap dan menyaru masuk ke lokasi yang ketika itu dijaga ketat oleh anggota pengamanan yang dipimpin Pius Lustrilanang.

Berdasarkan laporan saya, Megawati tahu siapa saja yang membangkang dari garis partai. Ada Laksamana Sukardi, Didi Supriyanto, Roy BB Janis, dan Noviantika Nasution yang gigih memotori Gerakan Pembaharuan PDIP. Mereka berusaha agar calon ketua umum tidak tunggal didominasi Megawati saja.

Gerakan pembaharuan mengusulkan sejumlah nama seperti Arifin Panigoro, Sophan Sophian, Roy BB Janis, dan Guruh Soekarnoputera. 

Kongres II PDIP di Bali akhirnya kembali mengukuhkan Megawati sebagai ketua umum. Pihak-pihak yang tidak puas akhirnya mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).

Konflik ini mau tidak mau berdampak pada hasil Pemilu 2009. Suara PDIP kembali merosot, kali ini ke urutan ke 3 setelah Demokrat dan Golkar.

Demokrat meraup 26,75 persen, Golkar 19,10 persen sedangkan PDIP 14,01 persen. Sementara PDP hanya mendulang 0,86 persen atau duduk di peringkat 16 dari 38 partai politik peserta Pemilu 2009.

PDIP juga kalah dalam pemilihan presiden 2009. Berpasangan dengan Prabowo Subianto, Megawati tidak bisa mengimbangi Susilo Bambang Yudhoyono yang berduet dengan Budiono. Pasangan Megawati–Prabowo hanya unggul atas Jusuf Kalla yang tandem dengan Wiranto.

Konflik banteng versus celeng jika tidak didamaikan akan sangat berpotensi mengganggu soliditas partai yang relatif sangat stabil di era dua periode kepresidenan Jokowi.

Jika PDIP tidak ingin mengulang masa lalu maka banteng dan celeng tidak boleh lagi didikotomikan dengan vulgar.

Energi partai sebaiknya difokuskan untuk membantu penuntasan janji-janji kampanye Jokowi terutama mengatasi pandemi dan dampaknya.

Konflik internal lemahkan partai

Dikotomi celeng-banteng dalam diskursus pencalonan kader untuk maju sebagai kandidat presiden mendatang adalah tipikal konflik dari teori Ralf Dahrendorf.

Menurut Dahrendorf, struktur sosial dalam masyarakat memiliki wajah ganda yang berpotensi memunculkan konflik dan konsensus. Tanpa adanya konsensus dalam struktur sosial, konflik tidak akan terjadi.

Terjadinya konflik bisa disebabkan oleh suatu tingkat kekuasaan yang berbeda. Unsur kekuasaan antara orang yang menguasai (atasan) dan unsur orang yang dikuasai (bawahan) memiliki kekuasaan yang berbeda.

Kekuasaan kelompok (atasan) selalu ingin tetap mempertahankan status quo sedangkan mereka yang berada dibawah (bawahan) selalu ingin melakukan perubahan jika tidak ada kontrol sosial dari atas.

Ralf Dahrendorf memastikan, konflik merupakan fenomena struktur sosial dalam masyarakat yang selalu menciptakan perubahan dan perkembangan (Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa Kritik).

Agar eskalasi celeng versus banteng tidak merembet menjadi besar maka seharusnya semua pihak di PDIP memiliki jiwa besar dan mau mempelajari kembali jati diri PDIP sebagai partainya wong cilik.

Persoalan siapa yang akan dicapreskan oleh PDIP sebaiknya menunggu momentum yang tepat. Semua yang merasa layak dicapreskan jangan “baper” alias gede rumongso duluan.

Serahkan urusan pencapresan kepada Megawati Soekarnoputeri. Percayalah, dia punya insting politik yang tajam.

Saat Pilkada DKI 2012, orang-orang di lingkar dekat Megawati berkali-kali meyakinkan dan menyodorkan nama Fauzi Bowo. 

Dengan insting politiknya, Megawati menjatuhkan pilihannya kepada Walikota Solo yang tidak diperhitungkan sama sekali ketika itu. Mata batin dan mata hati Megawati soal capres pasti akan menemukan fokus yang tepat

Saya yakin karena pernah lama menjadi cantrik-nya Megawati. Siapa calon presiden dari PDIP mendatang, Megawati pasti akan memilih kader terbaik. Dibutuhkan kesabaran karena sabar dalam politik adalah proses laku untuk menjadi pemenang.

Celeng, banteng, atau apapun sebutannya nanti untuk pihak-pihak yang berbeda pendapat dalam pencapresan, itulah dinamika khas PDIP. 

Wahai banteng dan celeng, bersatulah!

https://nasional.kompas.com/read/2021/10/16/06000061/wahai-banteng-dan-celeng-bersatulah-

Terkini Lainnya

1.168 Narapidana Buddha Terima Remisi Khusus Waisak 2024

1.168 Narapidana Buddha Terima Remisi Khusus Waisak 2024

Nasional
Menteri AHY Usulkan Pembentukan Badan Air Nasional pada WWF 2024

Menteri AHY Usulkan Pembentukan Badan Air Nasional pada WWF 2024

Nasional
Hormati Jika PDI-P Pilih di Luar Pemerintahan, Prabowo: Kita Tetap Bersahabat

Hormati Jika PDI-P Pilih di Luar Pemerintahan, Prabowo: Kita Tetap Bersahabat

Nasional
Setiap Hari, 100-an Jemaah Haji Tersasar di Madinah

Setiap Hari, 100-an Jemaah Haji Tersasar di Madinah

Nasional
PDI-P Sebut Anies Belum Bangun Komunikasi Terkait Pilkada Jakarta

PDI-P Sebut Anies Belum Bangun Komunikasi Terkait Pilkada Jakarta

Nasional
KPK: Ada Upaya Perintangan Penyidikan dalam Kasus TPPU SYL

KPK: Ada Upaya Perintangan Penyidikan dalam Kasus TPPU SYL

Nasional
Prabowo Koreksi Istilah 'Makan Siang Gratis': Yang Tepat, Makan Bergizi Gratis untuk Anak-anak

Prabowo Koreksi Istilah "Makan Siang Gratis": Yang Tepat, Makan Bergizi Gratis untuk Anak-anak

Nasional
Giliran Cucu SYL Disebut Turut Menikmati Fasilitas dari Kementan

Giliran Cucu SYL Disebut Turut Menikmati Fasilitas dari Kementan

Nasional
Kinerja dan Reputasi Positif, Antam Masuk 20 Top Companies to Watch 2024

Kinerja dan Reputasi Positif, Antam Masuk 20 Top Companies to Watch 2024

Nasional
KPK Sita 1 Mobil Pajero Milik SYL yang Disembunyikan di Lahan Kosong di Makassar

KPK Sita 1 Mobil Pajero Milik SYL yang Disembunyikan di Lahan Kosong di Makassar

Nasional
Tak Setuju Kenaikan UKT, Prabowo: Kalau Bisa Biaya Kuliah Gratis!

Tak Setuju Kenaikan UKT, Prabowo: Kalau Bisa Biaya Kuliah Gratis!

Nasional
Lantik Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, Menaker Minta Percepat Pelaksanaan Program Kegiatan

Lantik Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, Menaker Minta Percepat Pelaksanaan Program Kegiatan

Nasional
Akbar Faizal Sebut Jokowi Memberangus Fondasi Demokrasi jika Setujui RUU Penyiaran

Akbar Faizal Sebut Jokowi Memberangus Fondasi Demokrasi jika Setujui RUU Penyiaran

Nasional
Tidak Euforia Berlebihan Setelah Menang Pilpres, Prabowo: Karena yang Paling Berat Jalankan Mandat Rakyat

Tidak Euforia Berlebihan Setelah Menang Pilpres, Prabowo: Karena yang Paling Berat Jalankan Mandat Rakyat

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Bakal Minta Perlindungan LPSK

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Bakal Minta Perlindungan LPSK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke