Gomar mengenang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu sebagai seorang yang mampu hadir menjadi "imam" di tengah karut-marut perpolitikan bangsa.
"Pelintas batas itu telah pergi. Seorang politisi senior yang konsisten dengan komitmen politiknya untuk menegakkan demokrasi dan memperjuangkan aspirasi rakyat," kata Gomar dalam keterangannya, Kamis (30/9/2021).
Almarhum, kata Gomar, tak kenal lelah dan tak kenal takut untuk menegakkan demokrasi dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Masyarakat politik Indonesia, kata dia, sempat menjulukinya “Mr Interupsi”.
"Betapa tidak, di masa pemerintahan Orde Baru yang hegemonic itu, dia pernah menginterupsi persidangan MPR RI, sesuatu yang sangat mengejutkan ketika itu," kenang Gomar.
Padahal, menurutnya, semua mengetahui bahwa ketika itu berlaku pemeo mufakat terlebih dulu, baru musyawarah untuk MPR.
"Sehingga, agenda persidangan selalu bak prosesi yang sudah diatur alur percakapannya," ucapnya.
Namun, menurut Gomar, begitulah sosok pria yang akrab disapanya "Bang Sabam" itu.
Ia berpandangan, Sabam merupakan politisi tiga zaman, mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, yang menyediakan diri berjuang menegak demokrasi, apa pun taruhannya.
Sebagai seorang politisi di tengah masyarakat majemuk, lanjut Gomar, Sabam menolak untuk menyembunyikan kesaksian imannya sebagai seorang kristiani.
Namun, pada saat yang sama, Sabam juga menolak untuk membatasi karya perjuangan iman hanya lewat lembaga gerejani.
Bagi Sabam, jelas Gomar, karya dan kehadiran iman kristiani terlalu luas, sehingga tak harus dibatasi oleh tembok-tembok gereja.
"Dia adalah seorang pelintas batas, yang mampu menembusi sekat-sekat perbedaan," ungkapnya.
Gomar juga mengenang ketika seorang pendeta mengeluh kepada Sabam tentang fenomena penutupan gereja. "Sabam, dengan tegas berkata, 'Lho, ketika kasus Talangsari dan Tanjung Priok banyak umat muslim terbunuh, di mana kalian?'," ucap Gomar menirukan perkataan Sabam.
Sekalipun Sabam berkata demikian, kata Gomar, tetap saja keluhan pendeta itu ditindaklanjutinya.
Gomar menegaskan, Sabam tetap bersuara keras menentang praktik Orba yang sempat menyensor khotbah-khotbah Jumat di masjid.
Sebagai pelintas batas, lanjutnya, Sabam tidak hanya berjuang bagi penegakan demokrasi dan kemanusiaan di Indonesia, tetapi juga di mancanegara.
"Dia sangat kuat mendukung kemerdekaan negara Palestina, dan dengan kukuh menolak untuk berkunjung ke Israel. Dalam berbagai kesempatan, dia dengan lantang membela perjuangan rakyat Irak untuk menegakkan kedaulatan mereka, seraya mengecam keras serangan Amerika atas Irak," nilai Gomar.
Gomar merasa sangat kehilangan Sabam Sirait yang disebutnya sebagai seorang pelintas batas.
Namun, menurut dia, banyak jejak dalam perjalanan bangsa Indonesia yang ditinggalkannya. Jejak itu, kata Gomar, juga ditinggalkan Sabam dalam tubuh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
"Dia sebut (HKBP) sebagai agamanya, dan tentu dalam diri GMKI dan PGI. Salemba Sepuluh telah menjadi rumah kedua baginya, di mana dia telah menjadi sumber inspirasi bagi kader-kader gereja," ucap Gomar.
"Selamat jalan, Bang Sabam! Engkau akan tetap hidup dalam memori-memori kami," pungkasnya.
Diberitakan, anggota DPD Sabam Sirait meninggal dunia pada Rabu (29/9/2021) pukul 22.37 WIB, di RS Siloam Karawaci, Tangerang, Banten.
“Telah berpulang ke rumah Bapa di Surga, Bapak Sabam Sirait (Ompung Marsahala Doli) di Usia 85 tahun Rabu 29 September 2021 pukul 22.37 WIB di RS Siloam Karawaci,” kata Putra Nababan, menantu Sabam, melalui pesannya, seperti dikutip Antara.
Politikus senior yang sebelumnya berkiprah di PDI-P tersebut meninggal dalam usia 85 tahun. Sabam Sirait lahir di Pulau Simardan, 13 Oktober 1936. Ia mengawali karier dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang kemudian menjadi Sekretaris Jenderal Parkindo periode 1967-1973.
https://nasional.kompas.com/read/2021/09/30/09405421/kenang-sabam-sirait-ketum-pgi-pelintas-batas-itu-telah-pergi