Salin Artikel

Politik Dinasti sebagai Komorbid Demokrasi

POLITIK dinasti semakin mencemaskan. Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari terkena Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK), Senin, 30 Agustus 2021. Bersamaan dengan dia, ditangkap pula suaminya, Hasan Aminuddin, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR.

Hasan tercatat pernah menjabat sebagai Bupati Probolinggo selama dua periode. Pada Pilkada 2013, ia digantikan istrinya, Puput Tantriana Sari.

Kasus ini bukan kali pertama. Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis data, setidaknya, sampai Januari 2017 telah ada enam kepala daerah pelaku korupsi yang diketahui berkaitan dengan dinasti politik di daerahnya, yakni: Ratu Atut Chossiyah (Gubernur Banten 2007-2017), Atty Suharti (Walikota Cimahi 2012-2017), Sri Hartini (Bupati Klaten 2016-2021), Yan Anton Ferdian (Bupati Banyuasin 2013-2018), Syaukani Hasan Rais (Bupati Kutai Kertanegara) dan Fuad Amin (Bupatin Bangkalan 2003-2012) .

Dipastikan, ada yang keliru dalam konteks politik dinasti. Politik dinasti sudah berubah menjadi komorbid demokrasi yang jika salah mengobati bisa mematikan. Memusnahkan pelbagai upaya menumbuhkembangkan demokrasi.

Politik dinasti atau dinasti politik merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang. Di negara maju pun menjadi gejala umum.

Di Amerika Serikat, kita mengenal dinasti John F Kennedy dan dinasti George W Bush. Begitu pula di negara-negara demokratis Asia seperti India, ada dinasti politik Gandhi. Di Filipina, ada dinasti Aquino. Sedangkan di Indonesia, ada dinasti Soekarno.

Memang dalam perspektif politik, dinasti politik mengandung pro-kontra. Bagi yang pro, politik dinasti bukan gejala mengkhawatirkan. Sebab, pengalaman kasus India, dinasti politik terus berjalan namun demokrasinya tetap stabil dan bermutu.

Namun bagi yang kontra, politik dinasti tidak bisa disederhanakan seperti itu. Jika berbagai kebijakan petahana dipenuhi diskresi pada kerabat yang menutup akses sumber daya di luar jaringan kerabat, politik dinasti membahayakan demokrasi yang memuja fairness dalam kompetisi.

Apalagi jika politik dinasti berujung korupsi. Praktis tidak ada toleransi.

Sisi legal politik dinasti

Kebijakan negara (state policy) sendiri sesungguhnya tidak menutup mata akan komorbid demokrasi yang terbentuk di sentra politik dinasti.

UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Pilkada (lazim disebut UU Pilkada 2015) sempat mengatur larangan politik dinasti.

Pada Pasal 7 huruf r beserta penjelasannya memberikan penegasan bahwa calon kepala daerah tidak boleh ada konflik kepentingan dengan petahana.

Namun, sayangnya, ketentuan Pasal 7 huruf r tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menguji UU Pilkada 2015 terhadap UUD RI Tahun 1945, menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Sebab dinilai melanggar hak konstitusional warganegara untuk memperoleh hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan.

Tidak heran, Shanti Dwi Kartika menulis, putusan MK di atas dianggap menyuburkan politik dinasti dan melegalkan kerabat petahana dalam pilkada (Shanti Dwi Kartika,2015).

Daya rusak politik dinasti akan semakin menakutnya jika berkolaborasi dengan praktik oligarki. Robertus Robert (2020:188) menulis, oligarki memperluas karakter kapital ke dalam politik dan negara. Dengan menginvasi dunia politik, menaklukannya dan mengkloning, dunia politik menjadi dunia bisnis.

Dalam oligarki, diskursus politik secara brutal digantikan transaksi. Politik sama dengan pasar atau market. Dengan itu oligarki memperluas wilayah eksploitasi.

Oligarki mengubah politik sebagai arena perjuangan publik menjadi arena mengejar kepentingan privat. Bahkan, bisa jadi memperdagangkan kuasa publik yang melekat di jabatan publik. Ini tentu merugikan daulat publik.

Tentu perlu pula dilacak dan diteliti, adakah relasi dengan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal kenaikan harta kekayaan pejabat publik di masa pandemi yang cukup besar (mencapai 70,3 persen) di tengah penduduk miskin per Maret 2021—data BPS--mencapai 27,54 juta orang dengan fenomena oligarki?

Apakah kenaikan ini implikasi efektivitas oligarki atau bukan?

Sayangnya temuan KPK dalam konteks Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara negara (LHKPN) pada periode 2019-2020 di atas tidak disertai kajian komperhensif faktor penyebab kenaikan tersebut.

Muhammad Aqil Irham, dalam disertasi yang dibukukan berjudul Demokrasi Muka Dua: Membaca Ulang Pilkada di Indonesia (2016), menemukan gejala, dinasti politik menjadi akar tumbuhnya praktik kolutif dan nepotisme.

Hal ini berkelindan dengan praktik oligarkis kepartaian. Ini merupakan ironi dan paradoks demokrasi di tingkat daerah sebagai bentuk memperebutkan dan mempertahankan kursi kekuasaan, baik di legislatif maupun eksekutif.

Dengan begitu, makna demokrasi terdistorsi. Kekuasaan hanya untuk elite, sementara rakyat hanya menikmati aktivitas mencoblos di bilik suara.

Bagi penulis, politik dinasti tidak sekadar untuk dipahami. Namun harus diatasi dan diantisipasi.

Sayangnya, putusan MK di atas mengabaikan substansi keadilan dalam politik dinasti. Hanya fokus pada hak-hak individu untuk kompetisi dalam pilkada. Luput memperhatikan kesetaraan akses dan kecenderungan praktik korupsi di ekologi dinasti politik.

Hal ini harusnya menjadi bagian dekonstruksi MK sebagai peradilan konstitusional yang bermarwah menjamin konstitusioanalitas dari praktik demokrasi di republik ini.

Masa depan politik dinasti

Penulis sulit membayangkan akan ada jalan mulus membatasi politik dinasti. Sebab, politik dinasti ada di mana mana.

Di tubuh partai. Di birokrasi. Di parlemen. Lalu, sukar pula regulasi menetapkan batasannya. Bukan soal teknik legal semata kendalanya. Namun minimnya political will dari pembentuk hukum itu sendiri.

Sebab, akar dan kormobid demokrasi berupa politik dinasti terdapat pula di tubuh parlemen sehingga konflik kepentingan mengemuka dalam diri lembaga ini.

Apalagi, bayang bayang feodalisme senantiasa mengiringi. Mengingat sejarah kita sarat dengan tradisi kerajaan yang menjadi sumber inspirasi politik dinasti.

Dari sisi peluang hukum, masih ada cara legal membatasi politik dinasti dengan mengamandemen undang-undang kepartaian.

Sebab, fakta menunjukkan, terdapat konflik di tubuh kepartaian karena gejala politik dinasti.

Maka, jika di undang-undang kepartaian terdapat larangan atau setidaknya pembatasan kewenangan politik dinasti, ini akan berkontribusi besar mengamputasi efek buruk politik dinasti.

Bagi penulis, hal ini memerlukan komitmen masyarakat sipil dan kelompok oposisi, di luar kekuasaan resmi yang sudah menikmati kelezatan politik dinasti, untuk dengan sadar dan tercerahkan melakukan tekanan konstitusional dengan memanfaatkan hak hak demokratis warga menggugat akses politik dinasti.

Bagi penulis, masih terbuka kemungkinan menguji lagi ke MK, undang-undang yang melembagakan politik dinasti, seperti misalnya di undang-undang kepartaian.

Tentu dengan membawa fakta dan argumentasi baru bagaimana praktik korupsi yang selama ini terjadi salah satunya direproduksi dari praktik politik dinasti.

Tentu saja, MK, harus berjiwa besar, tidak terkurung putusan masa lalu, namun menarik fakta dan argumentasi legal kontekstual progresif untuk memastikan politik dinasti tidak lagi tumbuh subur.

Sebab salah satu ancaman politik dinasti adalah bisa berkembang liar dan berpeluang dalam iklim politik tidak sehat untuk menyingkirkan para kontestan politisi yang memiliki kapasitas dan integritas.

Pada akhirnya, meski tidak mudah, Indonesia tanpa politik dinasti akan jauh lebih baik untuk bisa meniti hari panjang demokrasi yang di masa depan tidak mudah.

Kebijakan publik yang sehat dan jauh dari konflik kepentingan menjadi benefit jika politik dinasti bisa diatasi.

https://nasional.kompas.com/read/2021/09/16/21091421/politik-dinasti-sebagai-komorbid-demokrasi

Terkini Lainnya

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke