JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar terbukti melanggar etik karena berkomunikasi dengan pihak yang berperkara, yakni Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial. Dewan Pengawas (Dewas) KPK menjatuhkan sanksi berat terhadap Lili berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen.
Namun, hukuman tersebut dinilai tidak setimpal dengan pelanggaran etik. Sejumlah pihak berpandangan Lili sepatutnya mundur dari jabatan pimpinan KPK.
Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK tidak hanya mengatur saksi pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan, tetapi juga pengunduran diri. Kedua sanksi tersebut termasuk kategori berat.
Anggota Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan, pengunduran diri mesti diambil agar tidak menambah beban dan menjaga kredibilitas KPK.
"Menurut saya, sebaiknya beliau dengan kehendak sendiri mengundurkan diri. Harus ada kerelaan dari yang bersangkutan agar tidak menjadi beban bagi KPK," kata Benny, saat dihubungi, Senin (30/8/2021).
Politisi Partai Demokrat itu menambahkan, sanksi yang dijatuhkan kepada Lili mesti menjadi pelajaran berharga bagi KPK. Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri juga pernah dijatuhi sanksi etik.
"Jadi, sanksi yang diberikan kepada Lili ini adalah tamparan berat untuk institusi KPK, dan juga menjadi personal liability bagi yang bersangkutan," kata dia.
Terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Zaenur Rohman berpendapat, sanksi potong gaji yang dijatuhkan Dewan Pengawas tidak tegas. Putusan ini, kata Zaenur, menunjukkan sikap permisif terhadap pelanggaran etik di internal KPK.
"Ke depan insan KPK tidak akan terlalu takut melakukan pelanggaran, karena Dewas tidak keras terhadap pelanggaran,” ujar Zaenur.
Zaenur mengatakan, sanksi memotong 40 persen gaji pokok Lili sangat ringan karena gaji pokok wakil ketua KPK hanya bagian kecil dari penghasilan setiap bulan.
Meski gaji pokoknya dipotong 40 persen, Lili akan tetap menerima sejumlah tunjangan senilai Rp 107.971.250 setiap bulannya.
Menurut Zaenur, Dewas semestinya dapat meminta Lili mundur dari jabatannya.
"Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan yakni berhubungan dengan pihak berperkara. Bahkan perbuatan ini tidak hanya melanggar kode etik, tetapi merupakan perbuatan pidana,” kata Zaenur.
Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai Dewas KPK tidak paham aturan terkait pemberian sanksi berat terhadap Lili.
Senada dengan Zaenur, menurut Saut, Dewan Pengawas KPK semestinya dapat menjatuhkan sanksi berupa permintaan mengundurkan diri.
“Jadi memang mereka sendiri tidak paham sama aturan yang mereka buat kalau menurut saya. Ya memang begitu lah kalau hati tidak dipakai padahal di situ kan ada bekas jaksa dan bekas hakim,” kata Saut.
Tak menunjukkan penyesalan
Lili menggunakan posisinya sebagai pimpinan KPK untuk menekan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai, M Syahrial, terkait penyelesaian kepegawaian adik iparnya, Ruri Prihatini Lubis, di Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kualo, Kota Tanjungbalai.
Adapun, M Syahrial merupakan tersangka dalam kasus dugaan suap penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara di Pemerintah Kota Tanjungbalai.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Dewas, pelanggaran etik bermula ketika adik Ipar Lili, Ruri Prihatini Lubis menceritakan masalahnya saat acara keluarga di rumah Lili pada Desember 2019.
Ruri bercerita mengenai masalah uang jasa pengabdian sebagai mantan pelaksana tugas Direktur PDAM Tirta Kualo Tanjungbalai yang belum dibayar. Kemudian, Lili menyampaikan hal tersebut saat bertemu Syahrial sekitar bulan Februari-Maret 2020 di Pesawat Batik Air dari Medan ke Jakarta.
Saat itu Syahrial yang menegur Lili dan mengenalkan diri pertama kali. Saat turun dari pesawat, Lili bertanya kepada Syahrial mengenai permasalahan yang dialami adik iparnya.
Kemudian, Syahrial meminta nomor ponsel Lili untuk melaporkan perkembangan soal masalah itu. Setelah pulang ke Tanjungbalai, Syahrial memanggi plt Direktur PDAM Tirta Kialo Yudhi Gobel dan bertanya mengenai pemasalahan adik ipar Lili.
Syahrial meminta Yudhi segera menyelesaikan masalah. Kemudian, Yudhi Gobel memproses permintaan Syahrial dengan mengirim surat ke Ketua Dewan Pengawas PDAM Tirta Kialo, Yusmada pada 27 April 2020 untuk melakukan pembayaran uang jasa Ruri.
Uang jasa pengabdian Ruri dibayar dengan cara dicicil sebanyak tiga kali dengan jumlah Rp 53.334.640 dan setelah menerima seluruh pembayaran Ruri memberitahu Lili. Pada Juli 2020, Lili kembali menghubungi Syahrial melalui WhatsApp. Ketika itu, Lili menyinggung soal berkas pekara atas nama Syahrial yang baru ia baca.
Diketahui, Syahrial diduga menerima suap terkait lelang jabatan Sekda Kota Tanjungbalai sebesar Rp. 200 juta. Syahrial mengatakan bahwa itu perkara lama dan minta agar Lili membantunya.
Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho mengatakan, Lili mengakui kesalahannya itu tetapi tidak menunjukkan penyesalan. Hal itu menjadi pertimbangan majelis etik menjatuhkan sanksi berat kepada Lili.
“Terperiksa tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya dan terperiksa selaku pimpinan KPK seharusnya menjadi contoh dan teladan dalam pemeriksaan di KPK tetapi terperiksa melakukan sebaliknya,” ujar Albertina.
Sementara itu, Lili mengaku dapat menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Pengawas KPK.
"Saya menerima tanggapan Dewas. Saya terima dan tidak ada upaya-upaya lain. Saya terima," ujar Lili, dikutip dari Tribunnews.com.
https://nasional.kompas.com/read/2021/08/31/08075451/terbukti-langgar-etik-wakil-ketua-kpk-lili-pintauli-didesak-mundur