JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera memutus perkara uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dilansir dari laman resmi www.mkri.id, pada Selasa (4/5/2021) MK akan memutus sembilan perkara permohonan uji materi UU.
Tujuh di antaranya adalah putusan UU KPK yang salah satunya diajukan oleh eks pimpinan KPK Agus Raharjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang.
Sementara perkara lain yang akan diputus adalah uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam laman tersebut juga disebutkan bahwa sidang pembacaan putusan akan dimulai pukul 10.00 WIB.
Adapun perkara uji materi UU KPK yang diajukan eks pimpinan KPK sudah dilayangkan sejak menjelang akhir tahun 2019.
Laode M Syarif pun mengaku heran mengapa sudah lebih dari setahun MK belum juga memutus permohonan uji materi UU KPK
Padahal, kata dia, bukti adanya asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sudah jelas dilanggar dalam proses revisi UU KPK.
"Kalau dari segi menurut peraturan perundang-undangan, bahwa untuk membuat undang-undang atau merevisi undang-undang yang baru ada naskah akademik dulu," kata Laode dalam diskusi Kode Inisiatif, Minggu (18/4/2021).
"Ada konsultasi pemangku kepentingan yang relevan, dan yang ketiga salah satunya adalah konsultasi publik. Dari segi itu tidak ada yang dipenuhi oleh Undang-Undang KPK," ujar dia.
Laode mengatakan, ada beberapa hal yang dilanggar dalam proses revisi UU KPK, mulai dari tidak dilibatkannya pimpinan KPK.
Kemudian, waktu revisi yang singkat hanya dua minggu serta tidak kuorumnya dalam pengesahan UU KPK atau hanya kuorum berupa tanda tangan.
"Jadi MK saya heran. Harusnya gampang sekali untuk menolak. Jadi ini clear cut enggak ada lagi bilang ini abu-abu, dari semua prosedur dilanggar tidak ada yang dipatuhi. Sedikit pun tak ada," ujarnya.
Laode pun menduga, MK justru tengah mencari alasan yang pas untuk bisa menerima revisi UU KPK padahal sudah jelas banyak pelanggaran prosedur.
"Saya yakin itu sekarang ini sedang mencari-cari alasan bagaimana memberikan pembenaran terhadap yang salahnya sudah semakin tampak jelas seperti itu," ucap dia.
Penjelasan MK
Sementara itu, Juru Bicara MK Fajar Laksono menjelaskan beberapa alasan mengapa MK terkesan lambat dalam memutus perkara uji materi UU KPK.
Menurut dia, hal itu disebabkan karena proses persidangan yang memang panjang dan memerlukan waktu yang banyak.
"Berdasarkan risalah persidangan, sekurang-kurangnya telah digelar 12 kali persidangan sepanjang Desember 2019 hingga 23 September 2020," kata Fajar melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Selasa (20/4/2021).
Fajar menjelaskan, setelah melakukan pemeriksaan dalam persidangan sebanyak 12 kali, MK akan membahasnya dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Namun, RPH terhenti sementara karena MK harus fokus menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dimulai pada 23 Desember 2020.
"Dalam masa tersebut, mengingat perkara perselisihan hasil pilkada harus selesai dalam jangka waktu 45 hari kerja sejak permohonan diregistrasi, maka praktis MK fokus dan berkonsentrasi penuh mengadili perkara perselisihan hasil pilkada," ujarnya.
Namun, lanjut Fajar, kini proses persidangan uji materi UU sudah dimulai kembali, apabila dihitung sejak batas akhir penyerahan kesimpulan para pihak pada 1 Oktober 2020, sampai awal masa gugus tugas penanganan perkara perselisihan hasil pilkada pada 23 Desember 2020, MK melakukan pembahasan perkara a quo dalam RPH dalam jangka kurang dari tiga bulan.
Jangka waktu tersebut, ia nilai, masih dalam batas kewajaran mengingat isu konstitusional perkara UU KPK membutuhkan konsentrasi, kecermatan, kehati-hatian, serta diskusi berbobot di antara hakim konstitusi di dalam RPH.
"Kesemua hal tersebut dilaksanakan secara patut, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan," ucap Fajar.
https://nasional.kompas.com/read/2021/05/04/06512351/hari-ini-mk-putus-7-perkara-uji-materi-uu-kpk