Salin Artikel

Menilik Aturan Turunan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan yang Dinilai KSPI Rugikan Pekerja

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah resmi mengundangkan 49 aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Cipta Kerja ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia pada Rabu (17/2/2021).

Dari jumlah tersebut, ada empat peraturan pemerintah (PP) yang terkait dengan klaster ketenagakerjaan. 

Namun, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengkritisi keberadaan keempat PP tersebut. Presiden KSPI Said Iqbal bahkan meminta Presiden Joko Widodo untuk menunda pemberlakuan 4 PP itu, sekalipun telah ditandatangani.

Menurut Said, pemerintah seharusnya menghormati proses judicial review atau uji formil dan uji materiil UU Cipta Kerja yang kini tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Seharusnya pemerintah tidak menandatangani atau membuat PP turunan UU Cipta Kerja terkait klaster ketenagakerjaan, harusnya menghargai dulu proses hukumnya," kata Said, Kamis (25/2/2021).

Ia menuturkan, permohonan uji materil yang diajukan serikat pekerja justru merupakan respons atas pernyataan Presiden Jokowi.

Kala itu, kata dia, Presiden Jokowi meminta pihak-pihak yang tak setuju dengan UU Cipta Kerja untuk mengajukan permohonan judicial review uji materi ke MK.

"Kami kan merespons sesuai yang disampaikan Presiden Jokowi, yaitu mengajukan mekanisme hukum bila tidak menyetujui UU Cipta Kerja, maka kami merespons itu," jelasnya.

Pihaknya juga mengaku tidak dilibatkan dalam pembahasan rancangan PP terkait klaster ketenagakerjaan.

Tenaga kerja asing ancam lapangan kerja

Salah satu aturan turunan yang disorot Said yaitu PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA).

Menurut dia, mempekerjakan buruh kasar yang merupakan TKA melanggar UUD 1945. Oleh karenanya, KSPI menolak PP tersebut.

Said menuturkan, pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, TKA yang akan bekerja di Indonesia harus mendapat izin tertulis dari menteri tenaga kerja.

"Kenapa KSPI tidak setuju buruh kasar TKA, khususnya TKA China buruh kasarnya masuk ke Indonesia? Karena mengancam lapangan pekerjaan orang Indonesia. Padahal, konstitusi kita pada UUD 1945 mengatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. (Ini) melanggar UUD 1945," kata Said.

Said melanjutkan, kendati ada Rancangan Penggunaan Tenaga Kerja Asing di dalam PP tersebut, tetapi sifatnya pengesahan administrasi.

"Tetapi kalau surat izin tertulis Menteri Ketenagakerjaan itu berbeda, maka di sini alat kontrolnya jadi hilang," lanjutnya.

Ia menyebut, dengan alat kontrol menggunakan surat izin menteri tenaga kerja saja sudah ditemukan sejumlah penyelewengan.

Munculkan perbudakan modern

Selain itu, Said juga menyoroti PP Nomor 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Ia menilai, PP tersebut justru menunjang praktik outsourcing yang selama ini ditentang oleh serikat pekerja.

"PP 35 dan UU Cipta Kerja, kegiatan pokok dan penunjang diperbolehkan menggunakan outsourcing. Ini perbudakan zaman modern," katanya.

Ia menjelaskan, dalam PP tersebut, PKWT berdasarkan jangka waktu dapat berlangsung selama 5 tahun. Perusahaan juga diperbolehkan memperpanjang PKWT yang telah selesai maksimal selama 5 tahun.

"Sudah upahnya murah, kontraknya berulang-ulang dan disuruh lewat outsourcing. Itu kerja rodi, ini yang disebut perbudakan modern," tegasnya.

Dia menilai, ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan durasi kerja yang panjang dan membuat buruh semakin sulit secara ekonomi.

Ia menambahkan, aturan turunan UU Cipta Kerja juga dianggap memiskinkan buruh. Pasalnya, ia menyoroti soal ketentuan pesangon, jam kerja, hingga aturan Upah Minimum Sektoral Kabupaten Kota (UMSK) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) yang dihapus.

PP Nomor 36 tahun 2021 yang mengatur tentang Pengupahan adalah aturan turunan yang disorotinya. Salah satu yang disoroti adalah syarat tertentu untuk menetapkan UMK.

Menurutnya, aturan itu hanya akan membuat buruh semakin jauh dari kesejahteraan.

"UMK di PP 36 ditegaskan mengikuti aturan UMP. Dengan hilangnya UMSK maka akan terjadi pemberian upah minimum yang tidak berkeadilan," ujarnya.

"Kalau UMP yang berlaku itu memiskinkan buruh dan orang-orang yang bekerja secara struktural dan kembali kepada kebijakan upah murah," sambung dia.

Tolak dan minta Presiden menunda pemberlakuan

Said mengaku, telah melihat seluruh isi dari keempat PP tersebut. Ia pun menolak seluruh isinya karena dinilai masih banyak persoalan.

Selain itu, ia juga meminta Presiden Jokowi untuk menunda pemberlakuannya.

"Kami meminta dengan segala hormat kepada Bapak Presiden Jokowi untuk mempostpone dulu lah pemberlakuan 4 PP ini. Ditunda dulu lah, apalagi dengan pandemi Covid-19," tegas Said.

Menurutnya, Presiden perlu menunda pemberlakuan ini karena PP tersebut sangat merugikan para buruh atau tenaga kerja.

"Kalau sudah ditandatangani, tunda dulu sampai pandemi selesai dan menunggu hasil keputusan hakim, Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan uji materi KSPI dan beberapa serikat buruh lainnya. Itu jauh lebih bijaksana," harap Said.

https://nasional.kompas.com/read/2021/02/26/09363331/menilik-aturan-turunan-uu-cipta-kerja-klaster-ketenagakerjaan-yang-dinilai

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke