Ketiga organisasi itu adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
"ICJR, IJRS dan LeIP menyayangkan pernyataan ini. Ini adalah contoh kekeliruan memahami lahirnya restorative justice dan arti penting menerapkan nilai-nilai," ujar Direktur Eksekutif LeIP, Liza Farihah dalam keterangan tertulis, Kamis (18/2/2021).
Liza menjelaskan, konsep restorative justice lahir bersamaan dengan gerakan penguatan hak korban.
Titik sentral dari konsep ini adalah menyelaraskan pemulihan korban dengan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku.
Untuk mencapai harmoni, proses penyelesaian sengketa tersebut bersifat pemulihan atau restoratif.
Liza menegaskan, bahwa restorative justice bukan soal membungkam hak korban untuk mendapatkan harmoni 'semu' di masyarakat.
Menurutnya, restorative justice bisa saja diterapkan dalam kasus perkosaan, tetapi titik sentral yang harus diperjuangkan adalah mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugiannya.
Termasuk membuat pelaku menyadari perbuatannya dan memahami dampak dari apa yang dilakukannya.
Selanjutnya, bisa dilakukan penyelarasan pertanggungjawaban pelaku untuk bisa berdampak positif bagi pemulihan korban.
"Pernyataan Menko Polhukam yang menilai restorative justice pada kasus perkosaan tidak untuk menangkap dan mengadili pelaku tidak tepat," tegas Liza.
"Meminta pelaku dan korban dinikahkan dengan alasan menjaga harmoni dan nama baik keluarga justru adalah contoh buruk praktik selama ini yang bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai dan prinsip restorative justice," sambung Liza.
Ia menuding pernyataan Mahfud tidak berpihak pada upaya untuk memberikan penguatan hak korban perkosaan atau pun kekerasan seksual.
Berdasarkan data survei Lentera Sintas Indonesia pada 2016 menunjukkan, 93 persen korban perkosaan tidak melaporkan kasusnya.
Salah satu alasan mendasarnya karena adanya ketakutan dengan narasi menyalahkan korban.
Sementara, survei terbaru IJRS dan Infid pada 2020 juga menemukan, 57,4 persen responden yang pernah mengalami kekerasan seksual menyatakan aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual.
Dengan adanya pernyataan ini, lanjut dia, aktor 'level tinggi' yang seharusnya memberikan jaminan hak korban justru semakin tidak berpihak pada korban.
Untuk itu, pihaknya pun mendesak supaya Mahfud mengklarifikasi pernyataannya.
"ICJR, IJRS dan LeIP meminta Menko Polhukam untuk segera meluruskan dan mengklarifikasi pernyataan tersebut, serta memberikan jaminan bahwa penerapan restorative justice harus dipahami seluruh jajaran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk meletakkan kepentingan dan pemulihan korban sebagai fokus utama," imbuh dia.
Sebelumnya, Mahfud mengatakan, pendekatan restorative justice dalam penegakan hukum akan membawa harmoni di masyarakat.
Mahfud mengatakan, kelompok masyarakat adat sejak dulu menerapkan prinsip restorative justice. Menurut dia, berbagai perkara yang ringan cukup diselesaikan dengan musyawarah.
Mahfud kemudian mencontohkan soal kasus perkosaan. Menurut dia, pendekatan restorative justice tidak bicara bahwa si pemerkosa harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses hukum.
Restorative justice, kata dia, membangun harmoni agar antara keluarga korban dan pemerkosa serta masyarakat tidak gaduh.
"Misal ada Siti diperkosa. Kalau mau hukum tegas, pemerkosa tangkap masuk ke pengadilan selesai. Tapi restorative justice tidak bicara itu, restorative justice bilang, kalau kita tangkap Amir sebagai pemerkosa lalu diumumkan bahwa dia memperkosa Siti, keluarga Siti hancur," kata Mahfud.
"Maka sebab itu, dulu di hukum adat ada istilah 'diam-diam saja kamu lari, biar orang tidak tahu'. Makanya dulu ada kawin lari. Itu restorative, agar orang tidak ribut. Agar yang diperkosa tidak malu kepada seluruh kampung. Kawin di luar daerah sana. Itu contoh restorative justice, membangun harmoni," imbuhnya.
https://nasional.kompas.com/read/2021/02/18/14055871/leip-hingga-icjr-sayangkan-pernyataan-mahfud-terkait-restorative-justice