"Kami mendambakan wali kota Solo, misalnya, ada dari Papua, orang Jawa bisa jadi wali kota di Papua, setiap warga negara setara, tidak membedakan suku," ujar Hasto dalam webinar "Revisi Undang-Undang Pemilu dan Integritas Kelembagaan Pendanaan Politik", Kamis (21/1/2021).
Tak hanya itu, ia pun berharap suku-suku tertentu, seperti Suku Anak Dalam maupun Suku Baduy bisa ikut serta dalam proses politik tersebut. Demikian juga dengan penyandang disabilitas.
Kendati demikian, kata dia, harapan itu sulit dicapai mengingat politik elektoral saat ini mempunyai daya saing yang kapitalistik, terutama untuk bisa tampil di media.
Dampak dari situasi itu, kata dia, lahirnya sebuah integrasi yang menjadikan pengusaha semakin banyak bermain di area politik.
"Di tingkat nasional, pemilik media ikut berpolitik, (terjadi) politisasi hukum. Praktik dengan sistem liberal tidak sesuai dengan tradisi kebudayaan kita," kata Hasto.
Selain itu, Hasto menilai, partai politik kerap dianggap sebagai keranjang sampah apabila gagal mengantarkan kadernya memenangi konestasi demokrasi.
Melihat perspektif tersebut, sejak beberapa tahun terakhir, kata dia, PDI-P mulai berbenah, salah satunya dengan membentuk sekolah partai.
"Kami membuktikan sekolah partai itu kemudian menjadi lebih baik, ini penilaian dari luar," ujar Hasto.
Melalui sekolah partai, calon kepala daerah yang akan diusung PDI-P mendapat pembekalan selama beberapa hari.
Materi pembekalan biasanya mengenai Pancasila, anitkorupsi, hingga pembangunan sebuah daerah. Hal ini bisa menjadi modal bagi setiap kader ketika kelak menjadi seorang pemimpin.
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/21/17241231/hasto-kami-mendambakan-wali-kota-solo-dari-papua-atau-orang-jawa-jadi-wali