Bukan soal aktif tidaknya menari saja, melainkan tanggung jawab atas tangkapan pesan yang diterima penonton.
Hal itu dirasakan penari ternama sekaligus pemilik Mila Art Dance School Yogyakarta Mila Rosinta.
Ibu dari Cyra Gayatri (1,5) dan Sandy Kirana (4) ini mengaku, pandemi Covid-19 membuatnya harus berusaha ekstra untuk menyampaikan pesan dari tarian kontemporer yang ia sajikan agar bisa diterima penonton.
“Terlebih, tari dengan aliran kontemporer ini sarat akan makna. Jadi harus digambarkan dengan detail. Kalau tidak, nanti penonton bisa salah tafsir,” kata Mila dalam acara Bedah Karya secara virtual, Sabtu (9/1/2021).
Menurut Mila, hal itu karena gerakan dalam tarian kontemporer berbeda dengan tarian tradisional yang sudah pakem atau tidak bisa diubah aturannya.
“Misalnya, kalau tari tradisional, gerakan lambeyan itu pasti dimaknai seseorang yang sedang berjalan,” katanya.
Sementara itu, ketika penari kontemporer melakukan gerakan berjalan, maknanya belum tentu sama.
“Bisa jadi artinya kehidupan, atau air mengalir. Jadi, sifatnya banyak simbolik,” ujarnya.
Untuk mengatasi hal itu, Mila berinovasi agar dapat menyajikan karya tari kontemporer dengan berkolaborasi bersama tim Mila Art Dance School.
Inovasi itu Mila lakukan dengan melakukan berbagai pementasan tari kontemporer secara virtual.
Mila menjelaskan, mempersiapkan pementasan tari kontemporer secara daring sedikit berbeda dengan pementasan biasa.
“Jadi, untuk lighting atau pencahayaan, sudut pengambilan gambar, sampai hal paling detail, seperti make up atau riasan harus bisa ditonjolkan secara maksimal,” katanya.
Mila menuturkan, dalam satu karya tarian kontemporer, biasanya ia dan tim meriset terlebih dahulu mulai dari kesiapan penari, make up atau riasan, dan setting lainnya. Waktu untuk riset kurang lebih tiga minggu.
Khusus untuk make up, walaupun telah ahli dalam merias dan memoles wajah, Mila juga selalu melakukan uji coba dua sampai tiga kali riasan sebelum pengambilan gambar.
“Hal itu penting, karena riasan adalah salah satu komponen yang sangat penting untuk memberi nyawa pada sebuah karya agar lebih hidup,” jelasnya.
Untuk kesiapan studio, dirinya selalu memastikan kualitas pencahayaan di ruang yang digunakan untuk menari. Ini agar hasil visual pertunjukannya tidak terlalu jauh dengan aslinya dan lebih natural.
Bahkan ia dan tim kerap kali melakukan beberapa kali perekaman sebelum benar-benar diunggah ke Youtube di kanal Mila Rosinta Totoatmojo.
“Dalam proses perekaman, kami menggandeng videografer dan para sineas Jogja yang kompeten di bidangnya,” jelas Mila.
Mila pun bersyukur karena sebelumnya pernah terlibat dalam beberapa karya tari kontemporer yang direkam secara khusus untuk ditayangkan.
“Tapi, ya sifatnya memang di-setting untuk keperluan dokumentasi. Jadi, tetap ada pementasan live atau secara langsungnya, tetap rasanya berbeda,” katanya.
Hingga saat ini, Mila telah menciptakan enam karya tari kontemporer virtual yang alurnya ia rancang sendiri dengan melibatkan beberapa pegiat seni di Yogyakarta dan sekitarnya.
“Beberapa di antaranya berjudul Kembali ke Zaman 70-an, Rindu Layar Bioskop Lahirlah Layar Kunang-kunang, A.S.A.P, When Dancer Stay At Home, Suara Batu, dan Kehidupan Seorang Ibu,” paparnya.
Dari beberapa karya tersebut, Mila menyebutkan bahwa Kembali ke Zaman 70-an dan Kehidupan Seorang Ibu lebih natural ia sampaikan. Ini karena dua karya tersebut paling realistis dan ia alami sehari-hari.
Meski begitu, Mila banyak menemui kendala ketika latihan mendalami penjiwaan sebuah peran.
Sebagai ibu yang memiliki anak balita, ia kerap membawa anak-anaknya saat latihan atau pentas, ini jadi tantangan baginya untuk berkonsentrasi tinggi.
“Bisa dikatakan, mengatur konsentrasi bergerak sambil mengawasi anak yang masih balita di masa pandemi ini cukup sulit,” imbuhnya.
Terlebih, suami Mila, Gusti Raditya adalah seorang dokter yang bekerja di Jakarta. Mila pun harus pandai-pandai membagi waktu untuk karya tari dan mengurus anak.
“Lewat karya ini, saya ingin menunjukkan, banyak peran harus saling berjalan seimbang dan bagaimana mencari cara beradaptasi dalam menjalani keduanya,” kata Mila.
Tak jarang pula, Mila mengajak anaknya untuk ikut berkarya. Hal ini ia putuskan sebagai salah satu jawaban yang cukup solutif atas karesahannya dalam membagi peran sebagai ibu dan penari.
“Tidak perlu memilih, kalau keduanya bisa berjalan beriringan. Anak-anak awalnya masih rewel, tapi lama-lama terbiasa dan malah senang kalau diajak ibunya menari,” katanya.
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/13/18563021/mulai-dari-makeup-hingga-bagi-waktu-begini-cerita-mila-rosinta-mempersiapkan